Kiprah Bank Sentral Afrika: Evaluasi Kebijakan & Prospek Ekonomi 2025

Gambaran modernitas dan aktivitas ekonomi di sebuah ibu kota Afrika, mencerminkan peran bank sentral dalam mengelola stabilitas dan pertumbuhan keuangan di benua tersebut.

Benua Afrika, dengan segala dinamika dan keragaman ekonominya, senantiasa menjadi sorotan dalam lanskap keuangan global. Pada tahun 2025, bank-bank sentral di seluruh Afrika menghadapi tantangan unik, mulai dari inflasi yang bergejolak, ketergantungan pada komoditas, hingga upaya reformasi keuangan dan digitalisasi. Artikel ini menyajikan gambaran komprehensif mengenai kiprah berbagai bank sentral di Afrika, mengevaluasi kebijakan moneter mereka, serta mengulas prospek ekonomi di tengah ketidakpastian global. Berbagai pendekatan diambil oleh para gubernur bank sentral, menunjukkan adaptabilitas dan keteguhan mereka dalam menjaga stabilitas harga dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Aljazair: Menjaga Stabilitas di Tengah Ketergantungan Hidrokarbon

Aljazair, negara terbesar di Afrika, mencatat pertumbuhan 3% pada 2024, namun diperkirakan melambat tahun ini. Ketergantungan pada hidrokarbon dan pasar yang tertutup investasi asing tetap menjadi tantangan utama. Salah Eddine Taleb, Gubernur Bank Aljazair (BoA), memprioritaskan stabilitas harga barang impor. Inflasi turun menjadi 4% pada 2024, namun BoA mewaspadai potensi kenaikan. BoA menurunkan suku bunga acuan menjadi 2,75% dan menghadapi dilema dengan diskon dinar Aljazair di pasar gelap yang mencapai 60%, mengikis kepercayaan dan cadangan devisa. Meskipun ada reformasi perbankan untuk memperluas keuangan syariah, digital, dan hijau, penempatan Aljazair di daftar abu-abu FATF pada akhir 2024 menjadi catatan negatif.

Angola: Perjuangan Inflasi dan Kerentanan Sektor Minyak

Manuel AntĂłnio Tiago Dias, Gubernur Bank Nasional Angola (BNA), telah menjabat selama dua tahun. BNA berjuang keras mengendalikan inflasi dengan keberhasilan terbatas. Suku bunga acuan yang tinggi, mencapai 19,5% tahun lalu, tidak mampu menekan inflasi yang masih 19,5% pada Juli. Perekonomian Angola, yang sangat bergantung pada minyak (94% ekspor, 60% pendapatan fiskal), diperkirakan hanya tumbuh 2,4% pada 2025 akibat permintaan minyak global yang lesu. Selain itu, BNA mendapat kritik karena gagal mengendalikan praktik perbankan yang tidak sehat, dengan dua bank besar merugi, melonjaknya eksposur terhadap utang pemerintah, dan tingginya rasio kredit bermasalah (NPLs).

BEAC: Polemik Regulasi Devisa dan Relaksasi Kebijakan Moneter

Bank Sentral Negara-negara Afrika Tengah (BEAC) di bawah kepemimpinan Yvon Sana Bangui menghadapi kritik tajam terkait regulasi valuta asingnya, khususnya mengenai dana RES (Restoration of Extraction Sites) yang mewajibkan perusahaan minyak internasional menyetor $10 miliar. Tekanan dari anggota kongres AS dan IMF memicu BEAC melonggarkan aturan transfer dolar. Cadangan bank sebesar $11,3 miliar, setara 4,2 bulan cakupan, masih di bawah rekomendasi IMF. Di sisi kebijakan moneter, inflasi yang menurun memungkinkan BEAC memotong suku bunga acuan menjadi 4,5% pada Maret 2025. Namun, Bank Dunia mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang stagnan bisa menghambat penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan di kawasan CEMAC.

Botswana: Tekanan Likuiditas dan Ketergantungan Sektor Tambang

Cornelius Dekop, Gubernur Bank Botswana (BoB), bergulat dengan tingginya biaya pinjaman meskipun suku bunga acuan BoB tergolong rendah. Ekonomi Botswana mengalami krisis terburuk sejak pandemi 2020, diperparah oleh ketergantungan pada ekspor berlian yang menyumbang 30% pendapatan negara. Penurunan pasar berlian global menyebabkan penurunan produksi dan penerimaan pemerintah. Cadangan devisa BoB anjlok hingga $3,6 miliar pada April. Meskipun demikian, BoB mempertahankan kebijakan moneter akomodatif dengan suku bunga acuan 1,9%, karena inflasi berada di bawah target 3%-6%. Langkah ini diharapkan dapat menjaga stabilitas ekonomi di tengah keterbatasan ruang fiskal.

BCEAO: Inovasi Pembayaran Digital dan Stabilitas Makroekonomi

Uni Ekonomi dan Moneter Afrika Barat (WAEMU) menunjukkan stabilitas yang menggembirakan di bawah kepemimpinan Jean-Claude Kassi Brou, Gubernur Bank Sentral Negara-negara Afrika Barat (BCEAO). Meskipun ada ketegangan politik dengan beberapa negara anggota, BCEAO berinovasi dengan meluncurkan Platform Sistem Pembayaran Instan Interoperabel (PI-SPI) pada September 2025, memodernisasi sistem keuangan dan mendorong layanan pembayaran digital. Inisiatif ini juga memperkuat CFA franc yang akan diperkuat lebih lanjut dengan pengembangan e-CFA. Fundamental makroekonomi yang kuat memungkinkan BCEAO memangkas suku bunga acuan menjadi 3,25%, mendukung pertumbuhan PDB yang diproyeksikan mencapai 6,4% tahun ini, didorong oleh sektor pertambangan dan pertanian.

Mesir: Pemulihan Ekonomi Pascakrisis dan Transformasi Digital

Ekonomi Mesir menunjukkan momentum positif setelah bailout $50 miliar, dengan proyeksi pertumbuhan PDB di atas 4%. Hassan Abdalla, Gubernur Bank Sentral Mesir (CBE), berhasil menavigasi lingkungan yang menantang. Keputusan melonggarkan nilai tukar Pound Mesir pada Maret 2024, meskipun devaluasi 40%, berhasil menstabilkan nilai tukar dan mengembalikan kepercayaan investor. Pengendalian inflasi adalah prioritas utama, dengan target 15% untuk tahun ini setelah turun dari 33,9% pada 2023. CBE telah mulai melonggarkan kebijakan moneter dengan memangkas suku bunga. Sektor perbankan Mesir yang profitabel, transformasi digital untuk inklusi keuangan, dan komitmen terhadap kebijakan iklim menjadi pilar pembangunan ekonomi.

Etiopia: Reformasi Ekonomi Berani dan Pembukaan Sektor Perbankan

Mamo Mihretu, mantan Gubernur Bank Nasional Etiopia (NBE), meninggalkan jabatan dengan rekam jejak reformasi yang signifikan. Dalam 32 bulan masa jabatannya, ia meluncurkan paket reformasi makroekonomi yang mencakup perubahan rezim kebijakan moneter, operasi pasar terbuka, dan aturan valuta asing. NBE secara resmi memulai perdagangan sekuritas, termasuk pencatatan perdana surat utang pemerintah. Suku bunga Bank Nasional berhasil menekan inflasi menjadi 13,7% pada Juli, dengan target di bawah 10% di tahun fiskal mendatang. Salah satu reformasi paling berani adalah pembukaan sektor perbankan bagi institusi asing, memungkinkan bank-bank asing untuk beroperasi atau mengakuisisi saham di bank lokal untuk pertama kalinya dalam lima dekade.

Gambia: Stabilitas Suku Bunga dan Pertumbuhan Ekonomi yang Kuat

Buah Saidy, Gubernur Bank Sentral Gambia (CBG), memilih pendekatan hati-hati dengan mempertahankan suku bunga acuan pada 17% selama dua tahun. Sikap ini bertujuan mencapai tingkat inflasi yang tepat, yang berfluktuasi antara satu dan dua digit, namun menunjukkan penurunan menjadi 7,2% pada Juli. Kebijakan ini juga membantu menjaga stabilitas Dalasi. Dengan aliran remitansi yang kuat, pendapatan pariwisata yang meningkat, dan pertumbuhan di sektor jasa, telekomunikasi, serta infrastruktur, CBG memproyeksikan ekspansi PDB sebesar 6,5% tahun ini, menjadikan Gambia salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Cadangan devisa yang kuat, setara 4,6 bulan cakupan impor, menunjukkan ketahanan ekonomi Gambia.

Ghana: Langkah Agresif dan Penurunan Inflasi yang Signifikan

Johnson Asiama, Gubernur Bank Ghana (BoG), menandai delapan bulan masa jabatannya dengan langkah-langkah agresif. Setelah menaikkan suku bunga acuan menjadi 28% pada Maret, BoG melakukan pemotongan suku bunga terbesar dalam sejarahnya, yakni 300 basis poin menjadi 25% pada Juli, dan kemudian 350 basis poin lagi menjadi 21,5% pada September. Keputusan ini didasarkan pada penurunan inflasi yang signifikan menjadi 12,1% pada Juli, apresiasi Cedi sebesar 40,7%, dan penurunan utang publik. Kepercayaan ekonomi memuncak, dengan pertumbuhan PDB 5,3% pada kuartal pertama. Namun, tingginya rasio kredit bermasalah (NPLs) di sektor perbankan (23,6%) masih menjadi perhatian utama BoG.

Kenya: Stabilitas Moneter di Tengah Gejolak Politik

Di tengah riuhnya dinamika politik di Kenya, Gubernur Bank Sentral Kenya (CBK), Kamau Thugge, mempertahankan ketenangan dalam menjalankan mandatnya. CBK secara konsisten memangkas suku bunga acuannya dalam tujuh pertemuan terakhir, mencapai 9,5% pada Agustus 2025. Keputusan ini didukung oleh inflasi yang stabil (4,1% pada Juli) dan statistik ekonomi yang positif, dengan pertumbuhan PDB 4,9% pada kuartal pertama dan proyeksi 5,2% untuk tahun ini. CBK juga berupaya memperkuat industri perbankan dengan menaikkan persyaratan modal minimum dan mencabut moratorium lisensi bank baru, sambil mendorong peningkatan penyaluran kredit ke sektor-sektor kunci untuk memastikan pertumbuhan yang lebih merata.

Madagaskar: Tantangan Ekspor dan Kebijakan Moneter Restriktif

Aivo Andrianarivelo, Gubernur Bank Sentral Madagaskar (BFM), berupaya keras menjaga dinamisme ekonomi di tengah kondisi yang beragam. Setelah awal tahun yang lambat, aktivitas ekonomi pulih di kuartal kedua, didorong oleh sektor tersier. Namun, tarif 15% yang diberlakukan AS pada April terhadap ekspor Madagaskar menimbulkan kerentanan bagi industri tekstil dan vanila yang krusial. BFM mengadopsi kebijakan moneter restriktif, menaikkan suku bunga acuan menjadi 12% pada Mei untuk mengonsolidasikan penurunan inflasi yang mencapai 8,2% pada Juni. Meskipun demikian, Ariary, mata uang lokal, tetap stabil berkat masuknya FDI yang meningkatkan cadangan devisa hingga $3 miliar. BFM juga memulai program percontohan e-ariary sebagai mata uang digital.

Mauritania: Perlambatan Ekonomi dan Relaksasi Kebijakan Moneter

Setelah pertumbuhan PDB yang kuat pada 2023 dan 2024, ekonomi Mauritania diperkirakan melambat hingga 4% pada 2025. Namun, Bank Sentral Mauritania (BCM) di bawah Mohamed Lemine Ould Dhehbi tidak khawatir. Meskipun ada risiko eksternal seperti ketidakpastian global dan keamanan di Sahel, fundamental makroekonomi internal tetap solid. Inflasi tetap dalam rentang yang dapat diterima, dan ouguiya, mata uang lokal, stabil berkat reformasi pasar valas. BCM beralih fokus kebijakan moneter dari manajemen likuiditas kuantitatif ke penargetan suku bunga, memangkas suku bunga acuan menjadi 6% pada Agustus untuk menjaga aktivitas ekonomi tetap hidup, terutama di sektor pertambangan, pertanian, perikanan, dan konstruksi. Reformasi perbankan juga terus berjalan.

Mauritius: Krisis Kepercayaan dan Tantangan Ekonomi yang Berat

Bank of Mauritius (BoM) menghadapi krisis kredibilitas menyusul gejolak internal dan campur tangan politik. Setelah pergantian gubernur, Priscilla Muthoora Thakoor menjabat pada September 2025. Konflik internal ini merusak reputasi Mauritius sebagai pusat keuangan internasional pada saat ekonomi sedang bermasalah. Guncangan eksternal, kekeringan, penurunan pariwisata, dan anjloknya FDI, ditambah utang publik yang mencapai 88% dari PDB, memperparah situasi. BoM memproyeksikan pertumbuhan PDB mendekati batas bawah kisaran 3%. Inflasi yang kembali naik menjadi 3,1% pada Juli, setelah sempat turun, menambah tekanan. Tantangan terbesar Thakoor adalah memulihkan kepercayaan dan stabilitas di tengah kondisi ekonomi yang memburuk.

Maroko: Lokomotif Ekonomi Afrika Utara dengan Fokus Inovasi Hijau

Maroko memimpin ekonomi Afrika Utara, dengan PDB diproyeksikan tumbuh 3,8% tahun ini. Inflasi telah mereda secara signifikan dari puncaknya, memungkinkan Bank Al-Maghrib (BAM) di bawah Abdellatif Jouahri untuk melonggarkan kebijakan moneter, memangkas suku bunga acuan tiga kali hingga mencapai 2,25% pada Maret 2025. Sektor perbankan Maroko sangat profitabel, meskipun NPLs meningkat. BAM juga menjadi pionir dalam integrasi risiko iklim ke dalam peramalan dan desain kebijakan, serta membuka Morocco Fintech Centre untuk mendorong kerja sama dalam keuangan digital. Trajektori ekonomi Maroko ditopang oleh agenda reformasi yang jelas dan investasi infrastruktur yang menarik FDI, khususnya di sektor-sektor manufaktur.

Mozambik: Pemulihan Ekonomi dan Tantangan Likuiditas Valas

Setelah periode ketidakstabilan politik, Mozambik mengalami pemulihan ekonomi yang stabil, dengan proyeksi pertumbuhan PDB rata-rata 2,5% pada 2025. Bank of Mozambique (BM) di bawah Rogério Lucas Zandamela telah memulai siklus pelonggaran kebijakan moneter, memangkas suku bunga MIMO secara kumulatif 700 basis poin, dengan pemotongan terbaru menjadi 10,25% pada Juli. Inflasi tetap terkendali pada kisaran angka tunggal menengah. Metical, mata uang lokal, tetap stabil berkat pendapatan gas alam yang melonjak. Namun, meskipun cadangan devisa mencapai rekor tertinggi $3,9 miliar, Mozambik menghadapi kekurangan valuta asing. Presiden Chapo menyalahkan bank dan bisnis yang menimbun valas, mendorong BM untuk mengatasi krisis ini, salah satunya dengan melonggarkan persyaratan cadangan.

Namibia: Diversifikasi Ekonomi di Tengah Ketergantungan Tambang

Presiden baru Namibia, Netumbo Nandi-Ndaitwah, berjanji untuk mendiversifikasi ekonomi yang terlalu bergantung pada sektor pertambangan. Penurunan harga berlian global menyebabkan pendapatan anjlok, diperparah dengan tarif 15% yang diberlakukan AS terhadap ekspor Namibia. Ini menekan cadangan devisa Bank of Namibia (BoN) di bawah Johannes !Gawaxab. Meskipun tidak dapat mengontrol guncangan eksternal, BoN menggunakan perangkat kebijakannya untuk merangsang sektor lain seperti pariwisata, perdagangan, transportasi, dan komunikasi. BoN menerapkan kebijakan moneter hati-hati, mempertahankan suku bunga repo pada 6,75% untuk menjaga patokan Dolar Namibia terhadap Rand Afrika Selatan dan menekan inflasi yang rata-rata 3,6% tahun ini.

Nigeria: Stabilitas Makroekonomi dan Upaya Pengendalian Inflasi

Fundamental makroekonomi Nigeria mulai stabil, namun belum cukup cepat bagi Olayemi Cardoso, Gubernur Bank Sentral Nigeria (CBN). Inflasi tahunan mencapai 20,12% pada Juli, turun signifikan dari 33,4% tahun sebelumnya. CBN tetap berhati-hati, memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 27% setelah tiga pertemuan berturut-turut mempertahankannya pada 27,5%. Ekonomi yang berkembang pesat didorong oleh stabilitas pasar valas, peningkatan remitansi, produksi minyak, dan ekspor non-minyak. Cadangan bank sentral meroket menjadi $40,1 miliar pada Juli. CBN juga terus mengawasi sektor perbankan, mendorong rekapitalisasi bank untuk memenuhi persyaratan modal minimum. Kepercayaan ekonomi telah membantu Nigeria kembali ke pasar global dengan penerbitan eurobond.

Rwanda: Inflasi yang Meningkat dan Upaya Penguatan Mata Uang Lokal

Soraya Hakuziyaremye ditunjuk sebagai Gubernur Bank Nasional Rwanda (NBR) pada Februari 2025. Ia menghadapi tantangan inflasi yang meningkat, dari 3,8% pada Februari menjadi 7,3% pada Juli. NBR merespons dengan menaikkan suku bunga kebijakannya sebesar 25 basis poin menjadi 6,75% pada Agustus untuk memastikan inflasi tetap dalam kisaran target. Rwanda terus menjadi salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia, dengan ekspansi PDB 7,8% pada kuartal pertama dan proyeksi 7,1% untuk tahun ini, didorong oleh pertanian, jasa, konstruksi, dan investasi infrastruktur. Namun, Franc Rwanda terus terdepresiasi, mendorong NBR untuk melarang penggunaan mata uang asing yang tidak sah dalam transaksi lokal.

Afrika Selatan: Menuju Target Inflasi Baru dan Pemulihan Ekonomi

Lesetja Kganyago, Gubernur Bank Cadangan Afrika Selatan (SARB), mendorong perubahan target inflasi menjadi 3%, dari 3%-6% saat ini, untuk meningkatkan daya saing negara. Target yang lebih rendah akan membuka ruang untuk suku bunga yang lebih rendah, memperkuat Rand, dan mengurangi biaya pinjaman jangka panjang. Ini sangat penting bagi ekonomi yang lumpuh dan menghadapi ketidakpastian tambahan dari tarif 30% AS atas barang-barang Afrika Selatan. Pertumbuhan PDB pada kuartal pertama hanya 0,1%, dengan proyeksi kurang dari 1% untuk tahun ini. SARB telah memangkas suku bunga acuan empat kali berturut-turut, terakhir menjadi 7% pada Agustus, didukung oleh inflasi yang moderat dan Rand yang lebih kuat. Penghapusan dari daftar abu-abu FATF juga menjadi kabar baik.

Tanzania: Pertumbuhan Ekonomi Stabil di Tengah Dinamika Politik

Tanzania, salah satu negara paling stabil di Afrika, mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat meskipun ada ketegangan politik. Pertumbuhan PDB mencapai 5,5% tahun lalu dan diproyeksikan akan meningkat menjadi sekitar 6% tahun ini, didorong oleh sektor pertanian, konstruksi, dan jasa keuangan. Dengan inflasi yang tetap dalam kisaran targetnya, Bank of Tanzania (BoT) di bawah Emmanuel Tutuba memulai pelonggaran moneter, memangkas suku bunga acuan menjadi 5,75% pada Juni. Shilling Tanzania tetap stabil, terdepresiasi hanya 0,2% pada tahun ini hingga Juni. BoT juga fokus pada pendalaman inklusi keuangan melalui perbankan agen dan digital, serta melarang penggunaan mata uang asing untuk transaksi lokal.

Tunisia: Krisis Ekonomi Multidimensi dan Tantangan Independensi Bank Sentral

Ekonomi Tunisia diperkirakan hanya tumbuh 1,9% pada 2025, terjebak dalam krisis multidimensi yang ditandai oleh defisit fiskal tinggi, kesenjangan pendanaan eksternal, inflasi, dan pengangguran. Utang publik melonjak menjadi 81% dari PDB. Fethi Zouhair Nouri, Gubernur Bank Sentral Tunisia (BCT), memprioritaskan stabilitas harga, menurunkan inflasi menjadi 7% pada 2024 dan memangkas suku bunga acuan menjadi 7,5%. Namun, ia menghadapi tantangan struktural berupa erosi independensi bank sentral, setelah parlemen mengizinkan BCT meminjamkan $2,2 miliar tanpa bunga kepada kas negara. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kepercayaan investor dan reputasi BCT, memperdalam isolasi keuangan Tunisia dan mempersulit prospek pemulihan.

Uganda: Pertumbuhan Ekonomi yang Konsisten dan Kebijakan Moneter Berhati-hati

Michael Atingi-Ego, Gubernur Bank of Uganda (BoU), berhasil menjaga operasi BoU tetap lancar dan melindungi bank dari pengaruh politik, membantu ekonomi Uganda mempertahankan jalur pertumbuhannya. Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan PDB mencapai 6,5% tahun ini. Namun, ketidakpastian eksternal yang tinggi mendorong BoU untuk mengambil jalur moneter yang hati-hati, mempertahankan suku bunga kebijakan pada 9,75% untuk pertemuan keempat berturut-turut karena inflasi menunjukkan tanda-tanda kenaikan. Shilling Uganda tetap menjadi mata uang paling stabil di Afrika. Kabar baik lainnya adalah pencabutan larangan pinjaman dari Bank Dunia, meskipun ada kebuntuan dengan IMF terkait program pembiayaan baru.

Zambia: Penguatan Kwacha dan Pengendalian Inflasi

Bank of Zambia (BoZ) di bawah Denny H. Kalyalya sedang menyusun regulasi mata uang baru untuk mengakhiri dolarisasi ekonomi dan mengembalikan Kwacha sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Kwacha telah pulih secara signifikan, terapresiasi 14,4% pada kuartal kedua, berkat peningkatan aliran masuk valas dan ekonomi yang pulih. BoZ menerapkan kebijakan moneter yang ketat, menaikkan suku bunga acuan menjadi 14,5% pada Februari dan mempertahankannya, yang berhasil menurunkan inflasi menjadi 13% pada Juli. Ekonomi Zambia diperkirakan tumbuh 5,8% tahun ini, didorong oleh harga tembaga yang meroket, peningkatan pariwisata, dan sektor-sektor kunci lainnya. Namun, BoZ mengawasi perlambatan kredit, yang berdampak pada usaha menengah dan kecil.

Zimbabwe: Era Baru Pasca-Hiperinflasi dengan Mata Uang ZiG

Zimbabwe menikmati berakhirnya era hiperinflasi, berkat kebijakan moneter ketat dari Reserve Bank of Zimbabwe (RBZ) di bawah John Mushayavanhu. RBZ mempertahankan suku bunga acuan tertinggi di Afrika (35%) sejak September tahun lalu, menghadapi inflasi yang mencapai 95,8% pada Juli, namun diproyeksikan menurun tajam. RBZ semakin berani dalam upayanya mengakhiri dolarisasi, menetapkan target 2030 agar ZiG (mata uang yang didukung emas) menjadi satu-satunya mata uang. Penggunaan ZiG meningkat signifikan, didukung oleh stabilitasnya dan aliran masuk valas dari ekspor serta remitansi. Cadangan devisa tumbuh lebih dari 150%. Kondisi stabil ini dirasakan di seluruh sektor ekonomi, dengan proyeksi pertumbuhan 6% pada 2025.

Secara keseluruhan, tahun 2025 menunjukkan beragam dinamika dalam pengelolaan ekonomi di Afrika. Para bankir sentral menghadapi tekanan eksternal dan internal yang kompleks, mulai dari isu inflasi, ketergantungan komoditas, hingga perlunya diversifikasi ekonomi dan penguatan sektor keuangan. Inovasi digital dan integrasi risiko iklim menjadi agenda penting bagi banyak negara. Meskipun ada keberhasilan dalam stabilisasi harga dan pertumbuhan ekonomi di beberapa wilayah, tantangan struktural seperti kemiskinan, pengangguran, dan independensi bank sentral tetap menjadi pekerjaan rumah yang besar. Upaya berkelanjutan untuk reformasi, transparansi, dan kerja sama regional akan menjadi kunci bagi masa depan ekonomi Afrika yang lebih tangguh dan inklusif.

Posting Komentar untuk "Kiprah Bank Sentral Afrika: Evaluasi Kebijakan & Prospek Ekonomi 2025"