PPN 12%: Mewahnya Pajak, Mewahnya Perilaku Konsumtif Masyarakat Kita
Tahun 2025, pemerintah kembali menunjukkan inovasi pajak yang menggugah nurani: PPN sebesar 12% kini hanya dikenakan pada barang-barang mewah. Langkah ini digadang-gadang sebagai bentuk keberpihakan pada rakyat kecil. Namun, mari kita telisik lebih dalam, apakah aturan ini benar-benar mengubah pola konsumsi masyarakat atau justru memupuk perilaku konsumtif yang lebih canggih?
Di satu sisi, penerapan pajak ini terlihat masuk akal. Barang mewah seperti mobil sport, perhiasan berlian, atau tas branded memang menjadi simbol status yang hanya dinikmati oleh segelintir lapisan masyarakat. Dengan pajak lebih tinggi, diharapkan terjadi "efek jera" bagi kalangan tertentu untuk hidup lebih sederhana. Namun, kita semua tahu, konsumerisme tidak pernah mati—ia hanya beradaptasi.
Mewah, Tapi Tetap Beli
Bagi kelas sosial atas, PPN 12% ibarat tambahan harga tiket parkir—tidak signifikan untuk menghentikan hasrat belanja mereka. Sebaliknya, label barang yang "dikenakan pajak 12%" justru menjadi kebanggaan tersendiri. Semakin mahal barang, semakin besar pajak yang dibayar, semakin tinggi status yang diraih. Ironi? Tentu saja.
Masyarakat menengah pun tak mau ketinggalan. Melalui berbagai cara kreatif, seperti mencicil barang mewah atau beralih ke pasar barang bekas, mereka tetap berupaya agar tetap relevan dalam pusaran gaya hidup modern. Dalam banyak kasus, cicilan itu tidak sekadar gaya, tetapi upaya untuk "menyelamatkan harga diri" di tengah arus tren sosial.
Barang Biasa yang Ikut Naik Kelas
Yang tak kalah menarik adalah dampak aturan ini pada barang-barang yang tidak termasuk kategori mewah. Misalnya, barang elektronik kelas menengah yang sebelumnya tidak dianggap "mewah" kini mulai dipasarkan dengan strategi "luxury-inspired." Akibatnya, barang yang sebenarnya biasa-biasa saja kini ikut terdongkrak popularitasnya.
Alih-alih membendung perilaku konsumtif, PPN ini seolah memperluas definisi kemewahan itu sendiri. Apakah ini disengaja? Hanya Tuhan dan pengambil kebijakan yang tahu.
Konsumsi atau Kesadaran Pajak?
Pertanyaan besarnya adalah, apakah penerapan PPN ini benar-benar tentang keadilan atau sekadar strategi baru untuk meningkatkan pendapatan negara? Di negara yang masyarakatnya sangat peduli dengan gengsi, kebijakan ini tampaknya lebih seperti menabur garam di lautan konsumerisme.
Pada akhirnya, PPN 12% mungkin hanya menjadi angka di atas kertas, tetapi dampaknya pada pola konsumsi masyarakat akan menjadi cerita tersendiri. Kita hidup di zaman di mana konsumerisme sudah menjadi bagian dari identitas, dan setiap perubahan aturan hanya akan memperhalus cara kita mengonsumsinya.
Tahun 2025 telah tiba, tetapi perilaku konsumtif masyarakat tetap tak tergoyahkan. Lantas, siapa yang sebenarnya mewah? Barangnya, pajaknya, atau mentalitas kita sendiri?