Ancaman AI dan Krisis Pengangguran Gen Z: Peringatan CEO Goodwill dan Keterampilan Masa Depan
Perdebatan seputar potensi kecerdasan buatan (AI) untuk menyebabkan hilangnya lapangan kerja telah menjadi topik hangat di kalangan pemimpin teknologi. Namun, bagi Steve Preston, CEO Goodwill, organisasi nirlaba dengan lebih dari 650 pusat layanan kerja, dampak AI terhadap ketenagakerjaan bukan lagi sekadar spekulasi masa depan, melainkan sebuah realitas yang sudah terjadi saat ini. Preston memperingatkan bahwa kita sedang berada di ambang krisis pengangguran generasi muda, terutama bagi Gen Z, yang akan diperparah oleh gelombang otomatisasi berbasis AI.
Tahun lalu, Goodwill telah melayani lebih dari 2 juta individu yang mencari bantuan dalam layanan ketenagakerjaan mereka. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat, dan organisasi tersebut kini secara proaktif mempersiapkan diri menghadapi lonjakan jumlah orang muda, dan juga kelompok usia lainnya, yang kehilangan pekerjaan akibat AI. Preston secara eksklusif mengungkapkan kepada Fortune bahwa otomatisasi ini diprediksi akan paling parah menghantam peran-peran bergaji rendah dan tingkat pemula. Ini berarti sektor-sektor yang secara tradisional menjadi gerbang bagi para pencari kerja muda atau mereka yang baru memulai karier akan mengalami disrupsi signifikan.
Preston, yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Perumahan dan Pembangunan Perkotaan Amerika Serikat ke-14, menyoroti bahwa ia telah menyaksikan "organisasi besar mulai melakukan PHK signifikan berdasarkan pergeseran ke AI." Peran-peran seperti di pusat panggilan (call center) dan posisi penjualan saat ini menjadi yang paling terpukul. Otomatisasi dalam layanan pelanggan dan proses penjualan, yang seringkali melibatkan tugas-tugas berulang dan pemrosesan data, dengan mudah digantikan oleh algoritma AI dan bot. Meskipun ia tidak memprediksi bencana total, Preston meyakini akan ada "pengurangan signifikan dalam jumlah pekerjaan," dan dampaknya akan sangat terasa pada pekerja bergaji rendah.
Meskipun pekerja dari segala usia dapat menduduki posisi bergaji rendah, pekerjaan-pekerjaan ini seringkali menjadi "rites of passage" atau langkah awal penting bagi mahasiswa dan lulusan baru untuk memasuki dunia kerja. Mereka adalah jembatan menuju pengalaman profesional, pembangunan keterampilan dasar, dan kesempatan untuk menjalin koneksi. Dengan hilangnya posisi-posisi ini, Preston mengamati bahwa "semakin sulit untuk mencari pekerjaan." Situasi ini secara khusus menimpa mahasiswa dan anak muda tanpa gelar sarjana. Lingkungan kerja yang berubah ini menciptakan hambatan serius bagi mereka yang baru ingin menapakkan kaki di tangga karier.
Realitas Sulit bagi Gen Z Tanpa Gelar
Berlawanan dengan berbagai laporan yang mengklaim bahwa "manfaat pendidikan tinggi telah mati"—dengan argumen bahwa keterampilan praktis lebih dihargai dan lulusan tanpa gelar kini lebih kompetitif—Preston justru menyaksikan fenomena yang berkebalikan. Ia melihat bahwa di antara keseluruhan angka pengangguran, "orang tanpa gelar sarjana tidak memiliki pekerjaan." Data ini menunjukkan adanya kesenjangan yang memprihatinkan, dan penelitian lebih lanjut bahkan mengungkap bahwa masalah ini lebih akut bagi laki-laki muda.
Kondisi ini, menurut Preston, adalah "hal yang mengerikan." Ia memahami betapa krusialnya bagi anak muda di fase kehidupan mereka untuk menemukan sesuatu yang bisa mereka genggam, di mana mereka dapat melihat masa depan, dan membayangkan arah kehidupan mereka. Ketika pintu-pintu masuk ke dunia kerja tertutup, hal ini dapat menciptakan rasa putus asa dan ketidakpastian yang mendalam bagi generasi muda.
Seiring dengan semakin cerdasnya AI dan otomatisasi, bahkan mereka yang memiliki gelar sarjana pun pada akhirnya akan merasa semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan pertama mereka. Lebih jauh lagi, Preston memprediksi bahwa efek domino dari situasi ini akan berdampak pada peran-peran yang lebih senior. Ini bukan hanya karena AI dapat menggantikan banyak posisi tingkat menengah, tetapi juga karena akan ada kekurangan talenta yang sesuai yang berasal dari jalur karier tradisional. Posisi-posisi tingkat pemula yang dahulu menjadi tempat pembelajaran fondasi pekerjaan, pembangunan keterampilan inti, dan kesempatan untuk dibimbing, kini lenyap, menciptakan "pipa" talenta yang kosong.
Mahasiswa Gen Z sudah merasakan kurangnya persiapan untuk dunia kerja akibat minimnya peluang pengalaman kerja, seperti magang. Isu ini hanya akan semakin diperburuk oleh AI. Tanpa pengalaman praktis awal, akan semakin sulit bagi mereka untuk bersaing di pasar kerja yang semakin kompetitif dan otomatis.
Keterampilan Penting untuk Generasi Pencari Kerja Berikutnya
Alih-alih tenggelam dalam gelombang teknologi, Preston menyarankan agar generasi muda belajar untuk "mengendarainya." Goodwill secara aktif menjalin komunikasi dengan para pemberi kerja untuk memahami keterampilan apa yang benar-benar dibutuhkan di masa depan. Ia menekankan bahwa "keterampilan digital sangat kritis." Seringkali, ada asumsi bahwa seseorang yang menghabiskan sepanjang hari dengan ponsel dan memiliki belasan aplikasi terbuka secara otomatis memiliki keterampilan digital yang hebat. Namun, Preston menegaskan bahwa kenyataannya sangat berbeda.
Meskipun kemampuan mengedit video TikTok mungkin mumpuni, Preston menyoroti bahwa generasi muda perlu menguasai alat-alat teknologi yang benar-benar digunakan di tempat kerja, mulai dari Microsoft Excel hingga Google Docs. Ini adalah fondasi literasi digital profesional yang seringkali diabaikan. "Kami secara konsisten menemukan bahwa jika seseorang mencapai tingkat penguasaan tertentu dengan keterampilan digital, pintu terbuka lebar—dan banyak orang yang kami asumsikan memiliki keterampilan tersebut, ternyata tidak," jelasnya.
Langkah selanjutnya adalah mempelajari cara menggunakan alat-alat AI generatif seperti ChatGPT dan Gemini. "Semakin hari, bukan hal yang mengejutkan, orang-orang yang mahir menggunakan alat AI mulai melompati orang lain di pasar kerja." Kemampuan untuk berinteraksi, memanfaatkan, dan mengintegrasikan AI dalam alur kerja akan menjadi keunggulan kompetitif yang krusial.
Sementara itu, bagi Gen Z yang tidak ingin meniti jalur karier korporat, Preston menyarankan untuk mempelajari "keterampilan teknologi hijau" (clean tech), seperti instalasi panel surya dan pemeliharaan stasiun pengisian kendaraan listrik. Bidang-bidang ini merupakan area pertumbuhan utama yang tidak selalu membutuhkan gelar sarjana, menawarkan jalur karier yang menjanjikan di tengah transisi global menuju keberlanjutan.
Preston juga memiliki peringatan tegas bagi milenial yang menolak beradaptasi: "Jika Anda adalah seseorang yang mencari pekerjaan di usia 30-an—atau bahkan 40-an—dan Anda belum memperoleh keterampilan-keterampilan tersebut, Anda hampir sepenuhnya terkunci dari sebagian besar pekerjaan yang tersedia di pasar." Keterampilan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk tetap relevan.
"Ketika orang-orang ini mendapatkan keterampilan tersebut, kami melihat pintu-pintu terbuka lebar," tambahnya. Ia bahkan menyebut dua wanita yang, setelah mengikuti kamp pelatihan digital ekstensif, berhasil bangkit dari tuna wisma menjadi mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar seperti Accenture dan Google. Kisah-kisah ini menjadi bukti nyata bahwa "tidak ada kata terlambat" untuk beradaptasi dan membangun kembali karier di era digital ini. Intinya, di tengah disrupsi yang dibawa oleh AI, kunci untuk tetap relevan dan berhasil adalah kemauan untuk terus belajar, beradaptasi, dan menguasai keterampilan yang dibutuhkan oleh masa depan.