Fenomena Krisis Pekerjaan Gen Z: Benarkah Karena Lautan Sarjana, Bukan Hanya AI?

Krisis Pekerjaan Gen Z: Lebih dari Sekadar Ancaman AI?

Perdebatan mengenai penyebab krisis pekerjaan yang melanda generasi Z (Gen Z) saat ini seringkali berpusat pada peran kecerdasan buatan (AI) yang terus berkembang pesat. Banyak yang khawatir bahwa otomatisasi dan inovasi AI akan membatasi peluang kerja, terutama di level pemula. Namun, sebuah perspektif lain yang tak kalah penting mulai mengemuka: apakah krisis ini sebenarnya juga dipicu oleh fenomena "terlalu banyak lulusan sarjana" di pasar kerja?

Selama beberapa dekade, orang tua di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, secara konsisten mendorong anak-anak mereka untuk mengejar pendidikan tinggi dan mendapatkan gelar sarjana. Keyakinan bahwa gelar universitas adalah kunci kesuksesan karier telah menjadi norma yang kuat. Akibatnya, pangsa tenaga kerja dengan gelar sarjana jauh lebih besar dibandingkan generasi sebelumnya. Dinamika baru inilah yang kini dihadapi oleh Gen Z yang baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi dan bersiap memasuki dunia profesional.

Pergeseran Tren Pengangguran Lulusan Baru

Secara historis, para lulusan perguruan tinggi berusia 22 hingga 27 tahun selalu menikmati tingkat pengangguran yang lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja secara keseluruhan. Namun, pola ini mulai berubah sekitar tahun 2015, jauh sebelum kehadiran chatbot generatif seperti OpenAI pada akhir 2022 yang memicu lonjakan minat pada AI. Data yang dikumpulkan oleh Federal Reserve New York menunjukkan bahwa tingkat pengangguran untuk lulusan baru sedikit melampaui tingkat keseluruhan pada Desember 2014, yaitu 5,6% berbanding 5,5%. Tahun-tahun berikutnya menunjukkan kedua tingkat ini saling berganti posisi, menunjukkan volatilitas awal dalam dinamika pasar kerja.

Pergeseran yang lebih signifikan terjadi selama pandemi. Tingkat pengangguran di kalangan lulusan baru mulai secara konsisten melampaui tingkat keseluruhan tenaga kerja. Dan yang lebih mencolok, pada awal 2022, perbedaan antara kedua garis tren tersebut mulai melebar secara signifikan. Berdasarkan data terbaru pada bulan Juni, tingkat pengangguran untuk lulusan baru mencapai 4,8%, sementara untuk semua pekerja adalah 4,0%. Kontras dengan ini, tingkat pengangguran untuk semua lulusan perguruan tinggi di seluruh kelompok usia tetap jauh di bawah tingkat keseluruhan selama setidaknya 35 tahun, menunjukkan bahwa masalah ini lebih spesifik pada lulusan baru.

Pandangan Para Ahli: Kompetisi yang Makin Ketat

Ed Yardeni, presiden dan kepala strategi investasi di Yardeni Research, mengemukakan hipotesis menarik mengenai perubahan ini. "Mengapa terjadi perubahan ini? Mungkin karena peningkatan jumlah orang berpendidikan tinggi di angkatan kerja secara umum saat ini, sehingga para pendatang baru bersaing memperebutkan pekerjaan dengan lulusan perguruan tinggi yang lebih berpengalaman," tulis Yardeni. Argumennya berakar pada peningkatan pasokan tenaga kerja terdidik.

Mengutip data dari Education Data Initiative, Yardeni menyoroti bahwa persentase warga Amerika dengan gelar sarjana atau lebih tinggi kini mencapai 37,5%, naik signifikan dari 25,6% pada tahun 2000. Pertumbuhan ini tidak main-main; antara tahun 1993 dan 2023, jumlah lulusan perguruan tinggi melonjak sebesar 74,9%, sementara mereka yang hanya memiliki ijazah sekolah menengah atas hanya meningkat 14%. Lonjakan besar dalam jumlah lulusan ini secara logis akan meningkatkan persaingan di pasar kerja, terutama untuk posisi entry-level yang umumnya diincar oleh lulusan baru.

Ironi di Balik Jurusan Populer: Studi Kasus Bidang Komputer

Yang menarik, analisis terpisah dari New York Fed yang memecah tingkat pengangguran berdasarkan jurusan perguruan tinggi menunjukkan hasil yang mengejutkan. Lulusan dengan gelar di bidang teknik komputer, ilmu komputer, fisika, serta sistem informasi dan manajemen, justru memiliki tingkat pengangguran yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pekerja secara keseluruhan. Fenomena ini kontradiktif dengan anggapan umum bahwa jurusan-jurusan berbasis teknologi ini seharusnya sangat dicari di era digital.

Yardeni mengomentari, "Ini menunjukkan bahwa terlalu banyak anak muda memilih untuk masuk ke bidang terkait komputer dan menghadapi waktu yang lebih sulit daripada yang diperkirakan dalam mendapatkan pekerjaan yang baik." Temuan ini mengindikasikan bahwa meskipun ada permintaan untuk keterampilan teknologi, pasokan lulusan di bidang-bidang tersebut mungkin telah melampaui kapasitas serapan pasar, menciptakan surplus tenaga kerja terampil yang justru kesulitan menemukan posisi yang sesuai.

Peran AI: Ancaman atau Transformator?

Tentu saja, tidak dapat dipungkiri bahwa AI juga memainkan peran dalam dinamika pasar kerja Gen Z. Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa AI memang mengurangi peluang, terutama pada posisi entry-level. Sebuah survei terbaru oleh Cengage Group menggarisbawahi hal ini, menunjukkan bahwa AI adalah salah satu alasan utama mengapa lebih banyak perusahaan berencana untuk merekrut jumlah pekerja entry-level yang sama atau lebih sedikit dari tahun sebelumnya.

Namun, pandangan mengenai AI tidak selalu negatif. Yardeni juga mengutip sebuah studi tahun 2023 oleh National Bureau of Economic Research yang menemukan bahwa AI justru menghasilkan lebih banyak karyawan level bawah di perusahaan yang mampu menggunakan teknologi tersebut. Hal ini memungkinkan mereka membuat keputusan tanpa terlalu banyak intervensi manajemen, menciptakan struktur organisasi yang lebih datar dan mungkin lebih efisien. Selain itu, Paul Donovan, kepala ekonom UBS, menyatakan skeptisisme tentang peran AI yang unik dalam krisis pekerjaan Gen Z di AS, mengingat tingkat pengangguran yang rendah di kalangan pekerja muda di zona euro, Inggris, dan Jepang. "Sangat tidak masuk akal bahwa AI secara unik merugikan prospek pekerjaan pekerja muda AS," tulisnya, menyiratkan bahwa faktor-faktor lokal mungkin lebih dominan.

Faktor Ekonomi Lain dan Pergeseran Nilai Pendidikan

Selain perdebatan AI dan pasokan sarjana, ada pula faktor ekonomi makro lain yang memengaruhi. Kebijakan tarif, seperti yang pernah diterapkan oleh Presiden Donald Trump, dapat memicu inflasi dan meningkatkan ketidakpastian ekonomi. Kondisi ini menyulitkan perusahaan untuk merencanakan ke depan dan menambah jumlah karyawan, sehingga memperketat pasar kerja secara keseluruhan.

Di sisi lain, narasi tentang pentingnya gelar sarjana mungkin telah mencapai puncaknya. Setelah bertahun-tahun didikte bahwa perguruan tinggi adalah sebuah keharusan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, pendulum kini mungkin berayun ke arah yang berlawanan. Pekerjaan di bidang kejuruan (trade jobs) menjadi semakin populer, terutama di kalangan Gen Z yang menyukai gagasan untuk tidak terus-menerus terpaku di depan komputer dan melihat masa depan yang tidak terlalu rentan terhadap AI. Fenomena ini diperparah dengan krisis utang mahasiswa yang terus membayangi, membuat anak muda lebih enggan meminjam uang dalam jumlah besar untuk mendapatkan gelar yang nilai pasarnya kian dipertanyakan.

Tidak mengherankan, pandangan masyarakat Amerika terhadap perguruan tinggi kini semakin redup. Menurut jajak pendapat Gallup awal bulan ini, hanya 35% responden yang menyatakan bahwa pergi ke perguruan tinggi itu "sangat penting"—sebuah rekor terendah—turun drastis dari 51% pada tahun 2019 dan 75% pada tahun 2010. Pergeseran persepsi ini mencerminkan realitas yang semakin kompleks di mana nilai investasi dalam pendidikan tinggi semakin dipertanyakan di tengah persaingan ketat dan ketidakpastian pasar kerja.

Kesimpulan

Krisis pekerjaan Gen Z adalah isu multifaset yang tidak dapat disederhanakan hanya pada satu penyebab tunggal. Meskipun AI memiliki perannya, peningkatan signifikan jumlah lulusan perguruan tinggi telah menciptakan pasar yang lebih kompetitif, terutama untuk posisi entry-level. Ditambah dengan pergeseran pandangan masyarakat terhadap nilai pendidikan tinggi dan daya tarik pekerjaan kejuruan, Gen Z dihadapkan pada tantangan unik yang menuntut adaptasi dan pemikiran ulang tentang jalur karier tradisional. Memahami semua faktor ini adalah kunci untuk merumuskan solusi yang tepat guna mendukung generasi mendatang dalam menavigasi pasar kerja yang terus berubah.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org