Rupiah Terdepresiasi & Tekanan APBN: Analisis dan Strategi Investasi
Kondisi ekonomi Indonesia belakangan ini menunjukkan dinamika yang menarik perhatian para pelaku pasar dan pengambil kebijakan. Nilai tukar Rupiah kembali mengalami tekanan signifikan, mencapai level terlemahnya sejak April 2025. Di saat yang bersamaan, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga delapan bulan pertama tahun 2025 juga mencatat defisit yang lebih besar dibandingkan periode sebelumnya, menimbulkan kekhawatiran terkait kesehatan fiskal. Artikel ini akan mengulas lebih dalam mengenai faktor-faktor pendorong di balik gejolak ekonomi ini serta menawarkan perspektif akademis yang santai mengenai implikasinya dan opsi strategi investasi yang dapat dipertimbangkan.
Dinamika Depresiasi Rupiah: Faktor-faktor Pendorong
Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS menjadi salah satu isu utama yang mendominasi diskusi ekonomi nasional. Per Senin (22/9), Rupiah terdepresiasi sebesar -1,19% WoW ke level 16.605, dan terus melemah hingga 16.750 per Kamis (25/9), menandai rekor terendah sejak kebijakan tarif resiprokal AS pada April 2025.
Pelemahan Rupiah dan Kekhawatiran Independensi BI
Salah satu pemicu utama depresiasi ini adalah keputusan Bank Indonesia (BI) untuk memangkas BI Rate di luar konsensus pasar. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor mengenai independensi BI, yang dinilai lebih condong untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daripada menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah. Isu ini semakin menguat dengan adanya wacana di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi Undang-Undang No.4/2023. Revisi ini bertujuan untuk memperluas mandat BI dan, yang lebih kontroversial, memberikan wewenang kepada DPR untuk merekomendasikan pemecatan gubernur BI. Potensi perubahan regulasi ini berpotensi mengganggu stabilitas kebijakan moneter dan memperparah persepsi risiko di mata investor asing.
Target Defisit APBN dan Implikasi Fiskal
Selain faktor moneter, kekhawatiran fiskal juga turut menekan Rupiah. Pemerintah menaikkan target defisit APBN 2026 dari 2,48% menjadi 2,68% terhadap PDB. Peningkatan target defisit ini, meskipun bertujuan untuk mendukung program pembangunan, dapat diinterpretasikan sebagai sinyal adanya tekanan pada keuangan negara, yang pada akhirnya memengaruhi sentimen pasar terhadap Rupiah.
Perbandingan dengan Mata Uang Regional
Pelemahan Rupiah ini menjadikannya mata uang dengan kinerja terburuk dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di Asia Tenggara. Meskipun Ringgit Malaysia, Dong Vietnam, dan Won Korea Selatan juga mengalami pelemahan terhadap Dolar AS, laju depresiasi Rupiah jauh lebih dalam. Di sisi lain, Baht Thailand dan Peso Filipina justru menunjukkan penguatan, menandakan bahwa tekanan yang dialami Rupiah mungkin juga berasal dari faktor-faktor domestik yang spesifik.
Realisasi APBN 8M25: Tantangan Penerimaan dan Akselerasi Belanja
Kementerian Keuangan pada Senin (22/9) memaparkan realisasi APBN hingga Agustus 2025. Data tersebut menunjukkan bahwa APBN mengalami defisit setara 1,35% terhadap PDB, meningkat signifikan dibandingkan defisit 0,69% terhadap PDB pada periode yang sama di tahun 2024.
Lesunya Penerimaan Pajak
Pendapatan negara secara keseluruhan masih terkontraksi sebesar -7,8% secara tahunan (YoY), yang baru mencapai sekitar 57% dari target APBN 2025. Komponen utama penerimaan negara, yaitu pajak, masih mengalami penurunan sebesar -5,1% YoY. Penurunan ini sebagian besar dipengaruhi oleh faktor restitusi pajak, yang mengurangi total penerimaan bersih negara.
Belanja Negara sebagai Stimulus Ekonomi
Berbeda dengan penerimaan, belanja negara justru mengalami akselerasi sebesar +1,5% YoY, mencapai sekitar 56% dari target APBN 2025. Akselerasi belanja pemerintah ini merupakan upaya untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi pada semester kedua tahun 2025, salah satunya melalui paket stimulus ekonomi. Namun, Menteri Keuangan, Purbaya, menegaskan bahwa pihaknya akan terus memantau realisasi anggaran dan siap merelokasi dana jika serapan belanja dinilai lambat atau tidak efisien.
Kisruh Rencana Kenaikan Bunga Deposito Dolar AS
Pada Rabu (24/9), Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara), yang terdiri dari BRI, Bank Mandiri, BNI, dan BTN, sempat mengumumkan rencana untuk menaikkan suku bunga deposito counter rate USD menjadi 4% per tahun, yang sedianya efektif berlaku per 5 November 2025.
Inisiatif Himbara dan Respons Pemerintah
Kebijakan ini diharapkan dapat membantu menopang nilai tukar Rupiah yang terus terdepresiasi. Langkah Himbara ini juga sejalan dengan pernyataan Menteri Keuangan, Purbaya, pada Jumat (19/9) yang menyebut pemerintah tengah menyiapkan insentif berbasis pasar untuk menarik simpanan dolar AS ke perbankan domestik. Namun, pada Jumat (26/9), Purbaya meralat pernyataannya dan menegaskan bahwa tidak ada instruksi dari pemerintah untuk menaikkan bunga deposito dolar AS. Ia mengimbau bank-bank untuk mengoreksi kebijakan tersebut, dan beberapa bank anggota Himbara pun segera menarik rilis pers terkait rencana kenaikan bunga tersebut. Kejadian ini menyoroti kompleksitas koordinasi kebijakan antara sektor perbankan dan pemerintah dalam menghadapi tekanan ekonomi.
Memitigasi Risiko: Pilihan Investasi di Tengah Ketidakpastian
Meskipun di tengah kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian, selalu ada peluang bagi investor untuk menyusun strategi yang tepat. Tekanan pada Rupiah mulai mereda ke level 16.680 per Senin (29/9) setelah klarifikasi dari Menteri Keuangan. Bagi investor yang ingin menjaga stabilitas portofolio, beberapa instrumen investasi dapat dipertimbangkan:
Stabilitas dengan Reksa Dana Pasar Uang
Reksa Dana Pasar Uang (RDPU) dapat menjadi pilihan menarik untuk menjaga stabilitas portofolio. Instrumen ini dikenal memiliki risiko yang relatif rendah dan likuiditas yang tinggi, menjadikannya cocok sebagai tempat parkir dana jangka pendek atau sebagai bagian dari diversifikasi untuk menyeimbangkan risiko. Beberapa contoh RDPU yang menunjukkan kinerja baik antara lain Sucorinvest Money Market Fund dengan return +5,96% dalam 1 tahun terakhir, TRIM Kas 2 Kelas A dengan return +5,47% dalam 1 tahun terakhir, dan BRI Seruni Pasar Uang III dengan return +5,43% dalam 1 tahun terakhir.
Peluang di Reksa Dana Obligasi
Di tengah siklus penurunan suku bunga, Reksa Dana Obligasi (RDO) berpotensi diuntungkan. Secara historis, RDO menunjukkan kinerja yang konsisten dalam jangka panjang meskipun pasar berfluktuasi. Sebagai contoh, ABF Indonesia Bond Index Fund mencatat return +37,3% dalam 5 tahun terakhir, diikuti oleh Manulife Obligasi Unggulan Kelas A dengan return +27,1%, dan BNP Paribas Prima II Kelas RK1 dengan return +25,4% dalam periode yang sama. Instrumen ini cocok bagi investor yang mencari pertumbuhan lebih tinggi dari RDPU dengan tingkat risiko menengah.
ORI028: Kunci Imbal Hasil Tetap
Bagi investor yang menginginkan kepastian return yang bisa dikunci hingga jatuh tempo, Obligasi Ritel Indonesia (ORI028) merupakan pilihan yang sangat menarik. ORI028 menawarkan return berupa kupon fixed rate 5,35% p.a. untuk tenor 3 tahun dan 5,65% p.a. untuk tenor 6 tahun. Tingkat return ini lebih tinggi hingga +90 bps dibandingkan BI Rate di level 4,75%, menjadikannya instrumen yang solid untuk mendapatkan passive income rutin setiap bulan.
Beli ORI028 di Bibit
Update Pasar Global dan Domestik
Di tengah dinamika makroekonomi, pasar saham domestik menunjukkan resiliensi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mencetak rekor All-Time High (ATH) baru, menandakan optimisme di pasar ekuitas Indonesia. Namun, aliran dana asing (foreign outflow) di pasar obligasi masih berlanjut, yang dapat menjadi indikasi investor asing masih berhati-hati terhadap aset berpendapatan tetap di Indonesia.
Secara keseluruhan, tekanan depresiasi Rupiah dan tantangan dalam realisasi APBN menjadi sorotan utama dalam lanskap ekonomi Indonesia saat ini. Namun, pasar menunjukkan tanda-tanda stabilisasi pasca-respons pemerintah terhadap isu bunga deposito. Bagi investor, memahami dinamika ini sangat penting untuk membuat keputusan investasi yang bijaksana. Diversifikasi portofolio ke instrumen seperti Reksa Dana Pasar Uang untuk stabilitas, Reksa Dana Obligasi untuk potensi pertumbuhan jangka panjang di tengah siklus suku bunga rendah, dan ORI028 untuk imbal hasil tetap, dapat menjadi strategi yang efektif untuk menghadapi volatilitas pasar.
Writer: Bibit Investment Research Team
Disclaimer: Konten ini hanya dibuat untuk tujuan edukasi dan bukan rekomendasi untuk beli/jual produk investasi tertentu. Always do your own research.