Kinerja Bank Sentral Timur Tengah 2025: Stabilitas & Inovasi
Kinerja Bank Sentral Timur Tengah 2025: Stabilitas & Inovasi
Kawasan Timur Tengah, dengan dinamika geopolitik dan ekonominya yang khas, senantiasa menjadi sorotan global. Pada tahun 2025, para bankir sentral di wilayah ini menghadapi beragam tantangan dan peluang, mulai dari upaya diversifikasi ekonomi hingga adopsi teknologi finansial. Laporan ini menyajikan tinjauan mendalam mengenai kinerja bank-bank sentral utama di Timur Tengah, menganalisis kebijakan moneter, pertumbuhan ekonomi, serta langkah-langkah inovatif yang mereka ambil untuk menjaga stabilitas dan mendorong kemajuan. Dengan fokus pada Bahrain, Irak, Yordania, Kuwait, Lebanon, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, kita akan menelisik bagaimana setiap negara merespons lanskap ekonomi global yang terus berubah, sekaligus mempertahankan ketahanan fiskal dan mengembangkan sektor finansialnya.
Bahana Ekonomi Bahrain: Stabilitas di Tengah Tantangan Utang
Bahrain, sebagai salah satu ekonomi terkecil di Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), terus menunjukkan stabilitas yang mengesankan. Proyeksi pertumbuhan PDB pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 3,5%, dengan inflasi yang terkendali di bawah 1%. Kebijakan moneter Bank Sentral Bahrain (CBB) selaras dengan Federal Reserve AS, mengingat Dinar Bahrain yang dipatok terhadap dolar. Langkah pemotongan suku bunga acuan oleh CBB sebesar 25 basis poin menjadi 4,75% pada September lalu merupakan respons langsung terhadap kebijakan Fed, meskipun Bank Dunia telah memperingatkan potensi pengetatan kondisi keuangan akibat tekanan inflasi terkait perdagangan dan gangguan rantai pasok global.
Bahrain telah lama menjadi pionir diversifikasi ekonomi di Timur Tengah, jauh sebelum negara-negara tetangga. Sektor keuangan menjadi tulang punggung ekonomi non-minyak, dengan keberadaan beberapa bank tertua dan terbesar di kawasan tersebut yang berpusat di Manama. Gubernur Khalid Humaidan aktif mendorong lembaga keuangan untuk mengoptimalkan teknologi guna memperluas pangsa pasar. Terbukti, pada Juli lalu, CBB menjadi regulator Teluk pertama yang memperkenalkan kerangka regulasi untuk stablecoin. Namun, Bahrain juga menghadapi tantangan signifikan, terutama terkait utang publik yang diproyeksikan mencapai 144% dari PDB pada tahun 2028, serta ketergantungan pada dukungan finansial dari negara-negara GCC lainnya.
Irak: Membangun Fondasi Ekonomi di Tengah Ketergantungan Minyak
Setelah dua tahun resesi berturut-turut, perekonomian Irak diproyeksikan pulih pada tahun 2025, terutama didorong oleh peningkatan produksi minyak. Namun, ketergantungan kuat pada hidrokarbon, yang menyumbang 95% pendapatan pemerintah, membuat Irak rentan terhadap fluktuasi harga minyak global. Meskipun diversifikasi ekonomi telah lama menjadi agenda, progres yang signifikan masih terbatas.
Menanggapi hal ini, Bank Sentral Irak (CBI) di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Mohsen Al-Alaq, tengah menggalakkan "perbankan sentral pembangunan." Inisiatif ini berfokus pada penyaluran kredit ke sektor-sektor strategis seperti pertanian dan industri, untuk memperluas basis ekonomi negara. Stabilitas harga menjadi prioritas utama Al-Alaq, terbukti dari penurunan inflasi menjadi 3,8% pada tahun 2024 dari puncaknya 7,5% setahun sebelumnya. Dengan meredanya indeks harga konsumen, CBI memangkas suku bunga kebijakannya dari 7,5% menjadi 5,5% untuk mendorong pertumbuhan kredit dan mendukung pemulihan. Modernisasi sistem perbankan Irak yang masih terbelakang juga menjadi prioritas, dengan reformasi bank-bank milik negara dan inisiatif mengurangi penggunaan uang tunai. Regulasi baru untuk bank digital dan perusahaan pembayaran elektronik yang diterbitkan pada Mei 2024 telah menarik beberapa pemain baru ke pasar. Meskipun demikian, bank sentral masih bergulat dengan tantangan kepatuhan terkait pencucian uang dan pendanaan terorisme, yang mengakibatkan beberapa bank Irak dibatasi dari transaksi dolar akibat aliran keuangan ilegal ke entitas yang disanksi.
Yordania: Ketahanan Makroekonomi di Persimpangan Regional
Berada di persimpangan gejolak regional, Yordania telah menunjukkan ketahanan makroekonomi yang patut diacungi jempol. Negara ini mencatat pertumbuhan PDB sebesar 2,5% pada tahun 2024, dengan proyeksi serupa untuk tahun 2025. Gubernur Adel Al-Sharkas menjadikan stabilitas harga dan pemeliharaan daya beli sebagai prioritas utama. Dinar Yordania yang dipatok terhadap dolar, membuat kebijakan moneter Bank Sentral Yordania (CBJ) sangat mengikuti langkah-langkah Federal Reserve. Pemotongan suku bunga acuan terbaru pada September lalu menurunkan suku bunga kebijakan utama menjadi 6,25%.
Inflasi menurun menjadi 1,6% tahun lalu dari 2,1% pada tahun 2023, dan diperkirakan akan stabil di sekitar 2% pada tahun 2025. Sektor perbankan Yordania tergolong kuat, bermodal baik, dan tangguh terhadap guncangan eksternal, tercermin dari pertumbuhan deposito sebesar 6,1% dan kredit sebesar 4,4% pada tahun 2024. Dana Moneter Internasional (IMF) juga menyoroti kesehatan sektor perbankan Yordania, dengan bank sentral yang terus memperkuat analisis risiko sistemik dan pengawasan keuangan. Agenda reformasi fiskal dan ekonomi terus berjalan untuk memperbaiki iklim bisnis. CBJ meluncurkan Strategi Inklusi Keuangan Nasional untuk tahun 2028, yang bertujuan mendorong pertumbuhan berkelanjutan dan memodernisasi sektor perbankan. Namun, Yordania masih sangat bergantung pada dukungan finansial eksternal, dan dengan utang publik melebihi 90% dari PDB, pengelolaan keberlanjutan fiskal akan menjadi perhatian krusial di masa depan.
Kuwait: Menjaga Stabilitas Finansial dengan Kebijakan Moneter Seimbang
Berbeda dengan sebagian besar negara Teluk yang berupaya melepaskan diri dari ketergantungan minyak, penjualan hidrokarbon masih mendominasi 90% pendapatan Kuwait. Akibatnya, kinerja ekonomi sangat erat kaitannya dengan volume produksi dan harga minyak. Setelah berkontraksi sebesar 2,6% pada tahun 2024, PDB Kuwait diperkirakan akan tumbuh moderat sebesar 1,9% pada tahun ini.
Sejak menjabat pada tahun 2022, Gubernur Basel Al-Haroon secara bertahap memperketat kebijakan moneter, menaikkan suku bunga kebijakan utama secara kumulatif 275 basis poin menjadi 4,25% pada Juli 2023, sebelum melakukan pemotongan moderat menjadi 3,75% pada September 2024. Bank Sentral Kuwait (CBK) mendeskripsikan pendekatannya sebagai "bertahap dan seimbang," bertujuan mengelola inflasi tanpa menghambat pertumbuhan. Uniknya, tidak seperti bank sentral GCC lainnya, Kuwait tidak mematok mata uangnya ke dolar, melainkan ke keranjang mata uang yang dirahasiakan, kerangka kerja yang oleh IMF disebut sebagai "jangkar nominal yang tepat." Sektor keuangan tetap menjadi tulang punggung ekonomi non-minyak Kuwait dan menunjukkan kekuatan yang solid. Bank-bank Kuwait mempertahankan modal dan penyangga likuiditas yang sehat, dengan tingkat kredit macet yang rendah, berkat praktik pemberian pinjaman yang hati-hati dan provisi yang kuat. Pada Juni 2025, CBK merilis draf kerangka regulasi perbankan terbuka, mendorong kolaborasi antara perusahaan teknologi finansial (fintech) dan bank tradisional untuk memenuhi kebutuhan populasi muda yang melek teknologi.
Lebanon: Tantangan Rekonstruksi di Tengah Krisis Mendalam
Setelah enam tahun didera krisis keuangan, moneter, dan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya—menyebabkan mata uang lokal kehilangan 99% nilainya dan inflasi mencapai tiga digit—Lebanon akhirnya mulai melihat secercah harapan. Meskipun perang antara Israel dan Hezbollah menghancurkan sebagian besar negara, kebuntuan politik yang berkepanjangan akhirnya pecah pada awal tahun 2025. Tim pemerintahan baru telah mulai mengesahkan reformasi krusial yang diharapkan dapat membuka paket dukungan finansial dari IMF yang sangat dibutuhkan.
Karim Souaid ditunjuk sebagai gubernur Banque du Liban (BDL) pada Maret 2025. Masih terlalu dini untuk mengevaluasi rekam jejaknya, namun jelas ia menghadapi tantangan monumental untuk merestrukturisasi total sektor perbankan dan mengembalikan kepercayaan pada institusi yang telah kehilangan kredibilitas. Beberapa langkah penting menuju reformasi telah diambil: pada April, Parlemen mencabut kerahasiaan perbankan, dan pada Juli, meloloskan undang-undang resolusi bank yang memungkinkan restrukturisasi. Konsolidasi di antara para pemberi pinjaman diperkirakan akan terjadi, sementara beberapa lainnya mungkin akan gulung tikar. Tonggak selanjutnya adalah undang-undang penyelesaian kesenjangan untuk menentukan siapa yang akan menanggung kerugian sektor yang diperkirakan mencapai $80 miliar. "Pekerjaan harus dilakukan untuk secara bertahap mengembalikan semua simpanan bank, dimulai dengan penabung kecil sebagai prioritas," janji Souaid pada hari pertamanya menjabat. Kini, semua mata tertuju padanya dan tim pemerintahan baru.
Oman: Transformasi Ekonomi dan Perkembangan Sektor Perbankan
Pembangunan ekonomi Oman secara tradisional kurang mencolok dibandingkan negara-negara Teluk tetangganya, namun Kesultanan ini tengah menjalani transformasi ambisius. Pertumbuhan ekonomi diproyeksikan meningkat menjadi 3% pada tahun 2025, naik dari 1,7% pada tahun 2024, didorong oleh peningkatan pendapatan minyak serta kinerja kuat di sektor ekonomi non-minyak.
Pada bulan Agustus, Oman menjadi negara GCC terakhir yang memperkenalkan program Visa Emas. Inisiatif ini diharapkan dapat menarik investor asing dan menstimulasi permintaan domestik di sektor properti dan sektor kunci lainnya. Sementara itu, sektor perbankan telah berlipat ganda ukurannya selama dekade terakhir, menciptakan peluang inovasi dalam layanan keuangan dan meningkatkan kompleksitas regulasi. Gubernur Ahmed Al-Musalmi ditunjuk memimpin Bank Sentral Oman (CBO) pada Desember lalu. Sebelum penunjukannya, ia menjabat sebagai CEO National Bank of Oman dan kemudian CEO Bank Sohar, di mana ia mengawasi merger Bank Sohar dan HSBC Bank Oman yang menghasilkan pembentukan Sohar International, kini menjadi bank terbesar kedua di negara tersebut. Dengan ekspektasi merger dan akuisisi bank yang lebih banyak di Muscat, keahlian Al-Musalmi mungkin akan segera diuji. Namun, masih terlalu dini untuk mengevaluasi kinerja lengkapnya.
Qatar: Menuju Puncak Kekayaan dengan Diversifikasi dan Inovasi
Qatar, yang telah menjadi salah satu negara terkaya di dunia dalam hal PDB per kapita, diproyeksikan tumbuh sebesar 2,4% tahun ini sebelum melonjak hingga lebih dari 6% pada tahun 2026, ketika ekspansi North Field diharapkan lebih dari dua kali lipat produksi gas alam cair. Pada saat yang sama, inflasi tetap terkendali di sekitar 1%, dengan daya beli yang kuat mendorong permintaan domestik. Riyal Qatar dipatok terhadap dolar, dan kebijakan moneter Bank Sentral Qatar (QCB) mencerminkan kebijakan AS. Doha memangkas suku bunga utama pada September, mendahului langkah Fed. Tingkat deposito kini sebesar 4,35%, tingkat pinjaman 4,85%, dan tingkat repo 4,6%.
Gubernur Bandar bin Mohammed bin Saoud Al-Thani—yang juga mengetuai Otoritas Investasi Qatar, dana kekayaan kedaulatan negara senilai $450 miliar—mengawasi sebelas bank lokal dan beberapa lembaga keuangan internasional dalam mendampingi transformasi ekonomi negara. S&P dalam penilaian terbarunya mencatat bahwa "bank-bank Qatar menguntungkan dan diuntungkan oleh kapitalisasi yang kuat serta likuiditas yang memadai," meskipun utang eksternal dan potensi arus keluar modal tetap menjadi perhatian. Seiring dengan selesainya proyek-proyek infrastruktur besar, kebutuhan pendanaan eksternal mereda. Ke depan, Qatar menargetkan menarik investasi asing langsung sebesar $100 miliar pada tahun 2030, didukung oleh paket legislasi pro-bisnis baru yang diperkenalkan pada Januari, mencakup kebangkrutan, kemitraan publik-swasta, dan reformasi pendaftaran komersial. QCB juga berupaya mempromosikan Qatar sebagai tujuan inovasi keuangan dengan inisiatif seperti Qatar Fintech Hub.
Arab Saudi: Kekuatan Ekonomi Terbesar dengan Kehati-hatian Fiskal
Sebagai ekonomi terbesar di Timur Tengah, Arab Saudi relatif terlindungi dari guncangan perang di Gaza, ketegangan dengan Iran, bahkan gangguan perdagangan global. Tahun ini, pertumbuhan diproyeksikan sebesar 3,5%, dan inflasi diperkirakan tetap rendah di 2%. Seperti banyak tetangga GCC-nya, Arab Saudi mematok mata uangnya ke dolar, kebijakan yang oleh IMF dianggap "tepat" dalam tinjauan Pasal IV terbarunya.
Sejalan dengan keputusan Fed, Gubernur Ayman Al-Sayari memangkas suku bunga kebijakan utama sebesar 25 basis poin pada September, menurunkan suku bunga repo menjadi 4,75% dan reverse repo menjadi 4,25%. Pelonggaran biaya pinjaman ini diharapkan dapat mendorong investasi di berbagai sektor. Bank-bank Saudi mencetak rekor keuntungan pada tahun 2024, dengan rata-rata pengembalian aset sebesar 2,2% dan tingkat kredit macet (NPL) mencapai level terendah sejak tahun 2016. Namun, pertumbuhan kredit dua digit yang kuat, didorong oleh pinjaman korporasi dan hipotek, melampaui pertumbuhan deposito dan menciptakan tekanan pendanaan. Untuk menjembatani kesenjangan ini, bank-bank semakin beralih ke pinjaman eksternal, mendorong Aset Bersih Luar Negeri (NFA) ke wilayah negatif untuk pertama kalinya sejak 1993. Terlepas dari tekanan ini, Riyadh mempertahankan salah satu tingkat utang publik terendah secara global berkat pendapatan minyak yang tinggi, cadangan devisa yang besar, dan kebijakan fiskal yang konservatif. IMF memuji "upaya berkelanjutan SAMA untuk meningkatkan kerangka peraturan dan pengawasan." Kerajaan ini terus menjadi magnet bagi bank-bank internasional yang ingin masuk ke kawasan tersebut, dengan Undang-Undang Perbankan yang baru diharapkan segera dirilis.
Uni Emirat Arab: Pionir Keuangan Digital dan Pertumbuhan Berkelanjutan
Uni Emirat Arab (UEA) terus menunjukkan kinerja ekonomi yang solid dengan pertumbuhan PDB diperkirakan sebesar 4,4% tahun ini dan inflasi yang terkendali di 2%. Dirham dipatok terhadap dolar, dan Bank Sentral UEA (CBUAE) pada dasarnya mengikuti kebijakan moneter AS. Setelah tiga kali pemotongan suku bunga pada tahun 2024, CBUAE menurunkan suku bunga fasilitas deposito semalam menjadi 4,15% pada pertengahan September.
Terpusat di Dubai dan Abu Dhabi, sektor perbankan UEA adalah pemain besar regional. Pada tahun 2024, aset perbankan meningkat 12% menjadi $1,24 triliun, disertai dengan keuntungan rekor, sementara pengembalian rata-rata ekuitas mencapai 19,1%, menurut Fitch. Rasio pinjaman terhadap deposito stabil di 76%, menandakan likuiditas yang kuat dan kapasitas kredit yang tangguh. Bank-bank Emirati terus memperluas jejak mereka di dalam dan luar negeri, terutama di Asia dan Afrika. Gubernur Khaled Mohamed Balama, yang telah bersama CBUAE sejak 2008, mengawasi ekosistem keuangan yang berkembang dan terdiversifikasi, mencakup bank tradisional serta ratusan institusi fintech dan non-bank. Selama lebih dari satu dekade, UEA telah menjadi kekuatan pendorong regional dalam keuangan digital dan terus memelopori sektor-sektor baru, termasuk blockchain, mata uang kripto, dan kecerdasan buatan (AI). Pada Juli, CBUAE mengumumkan peluncuran usaha patungan dengan Presight, sebuah perusahaan AI, untuk meningkatkan layanan keuangan di negara tersebut. Gubernur Balama juga merupakan promotor kuat keuangan hijau, menyelaraskan inovasi dengan tujuan keberlanjutan jangka panjang yang ditetapkan oleh kepemimpinan negara.
Demikianlah tinjauan komprehensif mengenai kinerja bank-bank sentral di Timur Tengah pada tahun 2025. Terlihat jelas bahwa meskipun banyak kesamaan dalam kebijakan moneter, setiap negara memiliki strategi unik dalam menghadapi tantangan domestik dan global, sembari berupaya mendorong diversifikasi ekonomi dan merangkul inovasi keuangan untuk masa depan yang lebih stabil dan sejahtera.
Posting Komentar untuk "Kinerja Bank Sentral Timur Tengah 2025: Stabilitas & Inovasi"
Posting Komentar