Aku duduk di meja makan pagi ini, memandangi mangkuk putih polos yang sudah menjadi saksi setia rutinitasku. Di dalamnya, mengapunglah mie instan dengan kuah kekuningan, dihiasi potongan kecil daun bawang palsu dari bumbu kering. Sarapan ini, sekali lagi, menjadi pengingat betapa hidupku seindah judul film drama kelas B—penuh kegetiran, tapi tetap harus dijalani.
Sambil meniup uap yang menggulung seperti asap dari pabrik impianku yang hancur, aku mulai merenung. Apakah ini hidup yang kuimpikan dulu? Saat teman-temanku berbicara tentang granola dan smoothie bowl, aku justru di sini, menggenggam garpu, siap mengaduk bumbu MSG yang seakan berkata, "Tenang, aku akan membantumu bertahan hari ini."
Mie instan ini bukan sekadar makanan. Ini adalah bentuk solidaritasku dengan diriku sendiri. Sarapan sehat? Itu hanya fantasi yang sering dilemparkan influencer di Instagram. Aku memilih jalan yang lebih nyata—murah, cepat, dan penuh rasa.
Saat menyeruput kuah yang terlalu asin namun entah kenapa memuaskan, aku merasa seperti seorang filsuf jalanan. Hidup ini memang pahit, tapi seperti kuah mie instan ini, selalu ada kenikmatan yang terselip di antara rasa asin dan gurih yang tak seimbang.
Mangkukku kosong sekarang, tapi rasa puasnya hanya sementara. Aku tahu, di balik semua itu, ada sesuatu yang mengintip: rasa lapar yang akan kembali dua jam lagi, atau mungkin rasa bersalah karena aku tahu aku layak mendapatkan lebih dari sekadar ini. Tapi untuk saat ini, semangkuk mie instan cukup.
Sarapan sederhana ini adalah simbol keberadaanku—aku yang bertahan di tengah tuntutan dunia, dengan anggaran pas-pasan dan harapan yang kadang terlalu muluk. Jadi, mari kita nikmati saja. Karena di akhir hari, hidup ini seperti mie instan: penuh kompromi, tapi selalu ada rasa yang bisa dinikmati.
Post a Comment