Manusia itu makhluk yang luar biasa. Kalau ada kejuaraan dunia untuk inkonsistensi, kita pasti juaranya. Kita bicara soal disiplin, tapi alarm pagi selalu kita snooze sampai berulang kali. Kita teriak pentingnya hemat, tapi diskon online tengah malam lebih menggoda daripada anggaran bulanan. Hebatnya, kita punya bakat luar biasa untuk tetap merasa benar, bahkan saat sedang salah total.
Coba lihat dunia sekitar. Pemerintah berkoar-koar tentang cinta lingkungan, tapi masih doyan tebang hutan demi proyek "berkelanjutan". Kita berseru tentang pentingnya hidup sehat, tapi menu favorit tetap gorengan dengan teh manis segelas besar. Tidak lupa, kita semua ingin bahagia, tapi lebih sering bikin keputusan yang jelas-jelas bikin stres. Konsistensi? Itu cuma teori indah yang nyaman didengar, tapi sulit diterapkan.
Ketidakonsistenan kita bahkan sampai level filosofis. Kita percaya pada "hidup itu pilihan," tapi di saat yang sama mengeluh tentang pilihan yang terbatas. Kita ingin kebebasan, tapi begitu bebas malah bingung mau ngapain. Yang lebih lucu lagi, kita selalu menginginkan perubahan, tapi takut kehilangan apa yang sudah ada.
Tapi begitulah keajaiban manusia—kita selalu bisa mencari pembenaran. Ketidakonsistenan bukan kelemahan; itu seni bertahan hidup! Kita tidak perlu merasa bersalah; justru, ini menunjukkan fleksibilitas kita. Siapa peduli kalau hari ini bilang A dan besok bilang B? Yang penting kita pintar mencari alasan untuk keduanya.
Jadi, mari rayakan ketidakonsistenan kita. Karena pada akhirnya, menjadi konsisten itu terlalu membosankan. Dunia ini butuh lebih banyak warna, lebih banyak zig-zag, dan tentu saja, lebih banyak alasan kreatif untuk semua ketidakonsistenan itu. Lagipula, kalau semuanya konsisten, apa gunanya drama?
Post a Comment