Douyin, versi asli TikTok dari Tiongkok, telah menjadi wadah hiburan yang menarik perhatian global. Tapi ada satu pola yang sering muncul di platform ini: parade kekayaan mencolok dan narasi penindasan. Mengapa konten semacam ini begitu populer, terutama di Indonesia? Fenomena ini bukan hanya soal algoritma, tetapi juga cerminan sosial yang kompleks.
Mengapa Kekayaan dan Penindasan Menjadi Tema Utama?
- Efek “Aspiration Porn”, Douyin sering menampilkan gaya hidup mewah—mobil sport, rumah megah, atau barang bermerek yang dibalut dalam kehidupan sehari-hari. Ini memberi audiens "fantasi aspiratif," di mana orang bisa membayangkan diri mereka hidup dalam kemewahan, meskipun realitas jauh dari itu. Di Indonesia, yang memiliki kesenjangan ekonomi signifikan, konten semacam ini memberikan semacam pelarian dari kehidupan nyata.
- Daya Tarik Drama Sosial, Video yang menunjukkan penindasan—seperti cerita pelayan yang diperlakukan buruk atau pekerja rendahan yang diremehkan—menghadirkan elemen drama yang menarik emosi. Penonton menyukai narasi di mana "yang tertindas" akhirnya bangkit melawan, karena itu memberi rasa keadilan yang memuaskan.
- Budaya “Flexing” yang Mendominasi, Budaya “flexing” atau pamer kekayaan sudah lama menjadi tren di media sosial. Douyin hanya memperbesar tren ini dengan narasi yang ekstrem: orang kaya hidup tanpa batas, sementara mereka yang di bawah tangga sosial sering kali dipermalukan. Ini adalah formula yang sangat efektif untuk mendapatkan penonton, komentar, dan bagikan.
Mengapa Sangat Digemari di Indonesia?
- Kesenjangan Sosial yang Relevan, Indonesia adalah negara dengan disparitas ekonomi yang signifikan. Konten Douyin menjadi cermin dari realitas yang akrab: kemewahan minoritas versus perjuangan mayoritas. Meski kadang menyakitkan, menonton video seperti ini memberikan hiburan sekaligus pengingat bagi penonton akan realitas mereka sendiri.
- Budaya Konsumsi Hiburan Instan, Indonesia memiliki audiens yang sangat menyukai hiburan instan dengan durasi pendek. Douyin, dengan format video yang cepat dan menarik, cocok dengan pola konsumsi konten ini. Ditambah lagi, video penuh drama dan fantasi mudah memancing perhatian dan interaksi.
- Rasa Identifikasi dan Pelarian, Banyak penonton Indonesia merasa terhubung dengan cerita “si miskin yang diremehkan” karena itu mencerminkan pengalaman mereka. Sebaliknya, menonton kekayaan juga menjadi bentuk pelarian, di mana mereka bisa bermimpi tentang kehidupan yang lebih baik.
- Efek Viral dan Peer Pressure, Konten Douyin sering kali viral di platform lain seperti TikTok atau Instagram Reels. Tekanan sosial untuk "menonton apa yang orang lain tonton" membuat popularitasnya semakin melejit. Semakin banyak orang membicarakan, semakin banyak yang penasaran dan ikut menonton.
Dampak dari Tren Ini
- Normalisasi Flexing dan Ketidakadilan, Tren ini, jika dibiarkan, dapat memperkuat budaya konsumtif dan materialisme. Generasi muda bisa saja merasa bahwa nilai seseorang diukur dari seberapa banyak harta yang mereka miliki atau bagaimana mereka memperlakukan orang lain.
- Penguatan Stereotip Sosial, Video yang memperlihatkan penindasan dapat memperkuat stereotip negatif tentang kelas sosial. Pekerjaan seperti pelayan, petani, atau pekerja kasar bisa dianggap rendah dan kurang berharga, padahal mereka adalah tulang punggung masyarakat.
- Peluang untuk Narasi Positif, Di sisi lain, tren ini juga membuka peluang bagi kreator untuk mengubah narasi. Alih-alih menonjolkan kekayaan atau penindasan, kreator bisa menciptakan cerita yang menginspirasi atau edukatif tanpa mengandalkan drama berlebihan.
Fenomena Douyin yang menonjolkan kekayaan dan penindasan adalah kombinasi dari algoritma yang mengejar engagement dan realitas sosial yang ingin dijual. Di Indonesia, popularitasnya mencerminkan selera hiburan yang berpusat pada drama, fantasi, dan identifikasi.
Namun, kita perlu bijak dalam menikmati konten seperti ini. Jangan sampai hiburan instan ini mengaburkan nilai-nilai penting seperti empati, keadilan, dan kerja keras. Jika dimanfaatkan dengan baik, Douyin dan platform serupa bisa menjadi alat untuk mengangkat narasi positif dan memberdayakan masyarakat, bukan hanya sekadar panggung untuk parade kekayaan dan ketidakadilan.
Post a Comment