no fucking license
Bookmark

Mahmud dan Hukuman Ala Diskon Akhir Tahun

Di negeri dongeng bernama +62, ada seorang tokoh bernama Mahmud. Mahmud ini bukan sembarang orang, dia seorang maestro keuangan. Sayangnya, bukan keuangan pribadinya, melainkan uang negara. Dalam waktu singkat, Mahmud berhasil "mengelola" dana hingga triliunan rupiah dengan metode yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang sudah lulus tingkat dewa dalam permainan korupsi.

Ketika akhirnya perbuatannya terendus, rakyat berharap-harap cemas. Akankah Mahmud mendapatkan hukuman yang setimpal? Berbulan-bulan, drama pengadilan mengisi layar kaca, dengan pengacara Mahmud yang membawa argumen semacam: "Dia hanya manusia biasa yang khilaf mengambil triliunan," dan "Lagi pula, uangnya kan sebagian sudah dikembalikan, kok."

Ketika hakim menjatuhkan vonis, rakyat terhenyak. Enam setengah tahun penjara! Sungguh sebuah penghakiman yang lebih cocok untuk pencuri ayam daripada pencuri uang negara. Apa yang salah di sini? Apakah triliunan memiliki bobot lebih ringan di timbangan hukum?

Mahmud dengan santainya tersenyum di depan kamera, seperti seorang aktor yang baru saja memenangkan penghargaan. "Ini adalah pelajaran bagi saya," katanya. Mungkin yang ia maksud adalah pelajaran tentang bagaimana sistem bisa begitu ramah terhadap mereka yang cukup cerdik untuk memanfaatkan celahnya.

Sementara itu, di tempat lain, seorang warga yang mencuri tiga tandan pisang untuk memberi makan anak-anaknya dijatuhi hukuman lebih berat. Ternyata, di negeri dongeng ini, nilai nominal dan keadilan berjalan di jalan yang berbeda.

Kisah Mahmud ini bukan hanya tentang seorang pria dan kesalahannya. Ini adalah potret bagaimana hukum bisa begitu fleksibel, terutama ketika berhadapan dengan mereka yang punya kekuatan finansial dan koneksi politik.

Namun, rakyat bukanlah sekumpulan domba bodoh. Mereka mulai bertanya-tanya: apakah keadilan di negeri ini benar-benar buta, atau hanya berpura-pura rabun saat melihat angka di rekening Mahmud?

Untuk saat ini, Mahmud bisa beristirahat tenang di "penjara bintang lima" yang mungkin akan lebih nyaman daripada rumah sebagian besar rakyat. Tapi, seperti semua dongeng, kisah ini juga mengajarkan moral. Pesannya sederhana: jika Anda ingin menjadi kriminal di negeri ini, jangan tanggung-tanggung. Ambillah triliunan. Karena di sini, hukum dan keadilan sering kali adalah soal ukuran angka, bukan rasa keadilan.

Post a Comment

Post a Comment