Bos Netflix Kagetkan Silicon Valley, Dukung Biaya Visa H-1B Trump
Lembah Silikon, episentrum inovasi teknologi global, baru-baru ini dikejutkan oleh pernyataan Reed Hastings, salah satu pendiri Netflix dan seorang donor besar Partai Demokrat. Di tengah gelombang kritik dari para pemimpin teknologi terhadap usulan biaya visa H-1B sebesar $100.000 oleh Presiden Donald Trump, Hastings justru melangkah berbeda, menyebutnya sebagai "solusi hebat." Pernyataan ini sontak memicu perdebatan sengit dan menimbulkan pertanyaan tentang dinamika politik serta ekonomi di sektor teknologi.
Hastings, yang dikenal sebagai salah satu 'megadonor' Demokrat terbesar dan jarang sekali mendukung kebijakan Trump, menyatakan melalui sebuah unggahan di platform X bahwa ia telah terlibat dalam isu kebijakan H-1B selama tiga dekade. Menurutnya, biaya yang tinggi ini akan memastikan visa hanya diberikan untuk "pekerjaan bernilai sangat tinggi," yang secara efektif akan menghilangkan sistem lotere dan memberikan kepastian yang lebih besar bagi para pemberi kerja. Argumennya berakar pada pemikiran bahwa kenaikan biaya ini akan menyaring pelamar, hanya menyisakan mereka yang benar-benar dibutuhkan untuk peran-peran kritis di industri teknologi.
Dukungan Hastings ini menjadi sangat mengejutkan karena beberapa alasan. Pertama, ia adalah figur Demokrat terkemuka yang sebelumnya pernah menyatakan bahwa Trump "akan menghancurkan sebagian besar kebesaran Amerika." Pergeseran sikapnya terhadap isu imigrasi, khususnya visa H-1B, menunjukkan adanya kompleksitas pandangan di antara para pemimpin bisnis, bahkan yang memiliki afiliasi politik kuat.
Reaksi Mengejutkan dari Lembah Silikon
Di sisi lain, sebagian besar industri teknologi menyatakan kekhawatiran yang mendalam. Para pemimpin perusahaan teknologi mengungkapkan bahwa biaya enam digit ini dapat menjadi ancaman serius bagi inovasi dan daya saing di Lembah Silikon. Mereka berpendapat bahwa kebijakan semacam ini akan menghambat kemampuan Amerika Serikat untuk menarik talenta global terbaik, yang merupakan salah satu keunggulan terbesar negara tersebut.
Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX, yang dikenal memiliki hubungan pasang surut dengan Gedung Putih di bawah kepemimpinan Trump, termasuk salah satu pengkritik paling vokal. Musk secara tegas mengkritik potensi perubahan pada program tersebut, menegaskan bahwa Amerika menghadapi "kekurangan serius insinyur yang sangat berbakat dan termotivasi." Ia bahkan pernah menyatakan bahwa dirinya sendiri berada di Amerika berkat visa H-1B, menyoroti pentingnya program ini bagi individu dan inovasi. "Jika Anda memaksa talenta terbaik dunia bermain untuk pihak lain, Amerika akan KALAH," tulis Musk dalam sebuah unggahan X, mencerminkan pandangan bahwa membatasi akses ke talenta global adalah langkah yang merugikan.
Para kapitalis ventura seperti Deedy Das, mantan pemegang H-1B dan mitra di Menlo Ventures, memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat melemahkan daya tarik Amerika. Das berpendapat bahwa jika "bahkan itu pun Anda hambat, akan semakin sulit bersaing di tingkat global." Kekhawatiran juga muncul dari startup-startup kecil, yang mungkin melihat "landasan pacu" finansial mereka menyusut berbulan-bulan jika harus menanggung biaya baru ini. Beberapa pendiri bahkan menyatakan akan berhenti mensponsori karyawan asing sama sekali, yang berpotensi memutus jalur talenta penting bagi perusahaan-perusahaan muda yang sedang berkembang.
Memahami Program Visa H-1B
Untuk memahami inti perdebatan ini, penting untuk meninjau kembali apa itu program H-1B. Dibuat pada tahun 1990, program ini dirancang untuk memungkinkan perusahaan-perusahaan AS mempekerjakan pekerja asing dalam "pekerjaan khusus" yang memerlukan keahlian teknis atau profesional tingkat tinggi, seperti insinyur, dokter, ilmuwan komputer, dan peneliti khusus. Secara teori, program ini dimaksudkan untuk menarik talenta langka yang mengisi kesenjangan keterampilan di pasar tenaga kerja AS. Setiap tahun, Kongres menetapkan batas 85.000 visa baru, angka yang jauh di bawah permintaan yang sebenarnya.
Namun, dalam praktiknya, program ini telah berkembang menjadi lebih kompleks. Sekitar 70% visa sebagian besar diberikan kepada warga negara India, banyak di antaranya tidak direkrut langsung oleh perusahaan-perusahaan Lembah Silikon, melainkan oleh raksasa outsourcing seperti Infosys, Wipro, dan Tata Consultancy Services. Perusahaan-perusahaan ini kemudian mengontrakkan karyawan tersebut kepada klien di AS, memicu kritik—termasuk dari Presiden Donald Trump—yang menuduh mereka menekan upah pekerja Amerika dengan tenaga kerja berbiaya lebih rendah. Meskipun demikian, para pembela program berargumen bahwa ekonomi AS sangat membutuhkan keterampilan ini dan bahwa para pemegang visa seringkali mengisi pekerjaan yang jika tidak, akan tetap kosong, sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Klarifikasi dan Kekhawatiran
Proklamasi Trump pada hari Jumat yang mengumumkan persyaratan pembayaran $100.000 untuk setiap petisi baru sempat menimbulkan kebingungan dan kepanikan di sektor teknologi. Awalnya, Menteri Perdagangan Howard Lutnick menyatakan bahwa biaya tersebut mungkin bersifat tahunan, yang memicu kepanikan di kalangan pengusaha. Namun, pada hari Sabtu, Gedung Putih mengklarifikasi bahwa biaya tersebut hanyalah pembayaran satu kali yang diterapkan pada petisi baru dalam lotere di masa mendatang, dan tidak berlaku untuk perpanjangan atau masuk kembali oleh pemegang visa yang sudah ada. "Ini BUKAN biaya tahunan," tulis juru bicara Karoline Leavitt di X.
Klarifikasi ini memang sedikit meredakan kekhawatiran jangka pendek, namun tidak menghilangkan ketidaknyamanan yang lebih luas. Banyak pengusaha segera mengambil tindakan, seperti buru-buru membelikan tiket untuk pemegang H-1B agar dapat terbang ke AS sebelum biaya tersebut diberlakukan. Sebuah cerita menarik datang dari Shubra Singh, seorang profesional biotek India, yang menceritakan bagaimana makan malamnya di Pittsburgh dengan teman-teman sesama pemegang H-1B pada hari Sabtu berubah menjadi penuh kecemasan akibat berita yang beredar, membuat banyak dari mereka bergegas mengubah rencana perjalanan.
Dampak Ekonomi di India
Guncangan finansial terasa instan. Saham-saham perusahaan outsourcing IT besar India—termasuk Infosys, Wipro, Tech Mahindra, HCL Technologies, dan Tata Consultancy Services—turun antara 1,7% dan 4,2% di bursa saham India selama perdagangan hari Senin. Citi Research mencatat bahwa biaya ini dapat mengurangi margin sekitar 100 basis poin dan memangkas laba per saham di seluruh sektor IT sekitar 6% jika perusahaan terus menggunakan jalur H-1B untuk staf mereka. Para analis, termasuk Toshi Jain dari JP Morgan, juga memperkirakan bahwa lebih sedikit mahasiswa India yang mungkin memilih universitas di AS jika jalur visa pasca-kelulusan kini memiliki label harga enam digit.
Namun, di tengah gejolak ini, beberapa pihak melihat peluang. Prashanth Prakash, mitra Accel, berpendapat bahwa gangguan ini dapat mengarahkan lulusan terbaik kembali ke ekosistem startup India. "Jika talenta India tidak lagi menuju AS, itu bisa menjadi keuntungan bagi kewirausahaan lokal," argumennya. Apurv Agrawal, CEO SquadStack, menyatakan kepada Economic Times of India bahwa kekacauan biaya H-1B ini mendorong para profesional India untuk melihat India itu sendiri—bukan AS—sebagai tujuan akhir untuk talenta kelas dunia. Agrawal optimis, menyatakan, "Dengan jenis perusahaan yang mengutamakan AI dan peluang skala global yang dibangun di sini hari ini, kita memiliki kesempatan sekali dalam satu generasi untuk mempertahankan dan menyambut kembali talenta kelas dunia."
Debat seputar visa H-1B dan biaya barunya adalah cerminan dari tantangan yang lebih besar dalam menyeimbangkan kebutuhan ekonomi, inovasi, dan kebijakan imigrasi. Sementara Reed Hastings melihatnya sebagai langkah yang akan "menyaring" talenta dan meningkatkan kualitas, sebagian besar industri teknologi melihatnya sebagai hambatan yang merugikan. Dampaknya tidak hanya terasa di Lembah Silikon, tetapi juga di negara-negara yang menjadi sumber utama talenta seperti India, yang kini harus menavigasi lanskap baru ini. Masa depan talenta global dan daya saing teknologi akan sangat bergantung pada bagaimana kebijakan-kebisaan ini diimplementasikan dan diadaptasi seiring waktu.