Dua Raksasa Teknologi: Apple Hadapi Stagnasi, Oracle Meroket Berkat AI

Gambar metaforis yang menampilkan logo Apple yang stagnan berlawanan dengan logo Oracle yang meroket, dengan latar belakang data ekonomi berfluktuasi.

Pasar saham diguncang oleh dua cerita yang sangat kontras dari dunia teknologi: raksasa iPhone, Apple, yang menunjukkan tanda-tanda kematangan dan potensi stagnasi, serta Oracle yang tiba-tiba melambung tinggi berkat narasi kecerdasan buatan (AI). Di tengah pergerakan saham yang signifikan ini, data ekonomi terbaru juga memberikan gambaran yang lebih dingin tentang pasar tenaga kerja, memicu perdebatan mengenai arah kebijakan moneter bank sentral.

Apple: Inovasi yang Mulai Melambat?

Apple baru-baru ini meluncurkan produk terbarunya, termasuk iPhone 17, jam tangan pintar baru, dan AirPods dengan kemampuan terjemahan daring. Meskipun Tim Cook menggunakan banyak superlatif, reaksi pasar menunjukkan bahwa produk-produk ini mungkin bukan "penggerak jarum" yang signifikan bagi Apple. Harga saham perusahaan justru menurun pasca-pengumuman, menandakan bahwa investor mungkin melihat Apple telah mencapai titik kematangan.

iPhone 17 terbaru menampilkan desain yang lebih tipis dan ringan, menggunakan bodi titanium, serta ditenagai oleh chip A19 Pro. Chip ini memiliki peningkatan terkait AI, termasuk akselerator saraf di setiap enam inti GPU-nya, yang dirancang untuk komputasi matematis yang lebih intensif. Marketer utama Apple menyatakan bahwa chip tersebut akan memungkinkan perangkat untuk menjalankan model bahasa besar lokal. Selain itu, ada tiga model Apple Watch baru, salah satunya dilengkapi fitur kesehatan berbasis pembelajaran mesin untuk mendeteksi risiko tekanan darah tinggi, serta AirPods yang menawarkan terjemahan daring yang menarik bagi para pelancong.

Namun, meskipun ada kemajuan teknis, Travis Hoium dari Motley Fool mengamati bahwa presentasi tersebut terasa lebih seperti presentasi teknik daripada presentasi produk yang mendobrak. Ini berbeda jauh dari peluncuran iPhone di masa lalu yang penuh sensasi. Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah produk-produk ini cukup untuk mendorong siklus peningkatan yang diinginkan Apple, mengingat pendapatan perusahaan telah menurun dari puncaknya pada tahun 2021.

Lou Whiteman menambahkan bahwa ini adalah bisnis yang matang. Hari-hari di mana konsumen langsung tergiur dengan "lonceng dan peluit" baru untuk mengeluarkan $800 atau lebih setiap tahun sudah berakhir. Desain baru saja tidak lagi cukup; semuanya sekarang tentang perangkat lunak dan AI. Hingga Apple dapat memberikan terobosan AI yang benar-benar membuat orang berkata, "Saya butuh yang baru," seperti yang terjadi pada masa-masa awal inovasi desain iPhone, produk-produk baru ini mungkin tidak akan menggerakkan pasar secara signifikan.

Rachel Warren juga menyoroti bahwa di tengah lingkungan ekonomi yang ketat, banyak konsumen mungkin bertanya-tanya apakah perlu untuk meningkatkan perangkat mereka. iPhone masih menjadi sumber pendapatan terbesar Apple, menyumbang 50% atau lebih dari total pendapatan perusahaan. Namun, segmen lain seperti Mac, iPad, serta perangkat sandang, rumah, dan aksesori (termasuk AirPods) semuanya menunjukkan penurunan. Segmen terakhir ini, yang merupakan pendorong besar bisnis hingga tahun 2021, kini turun 13% dari puncaknya pada tahun 2022. Hal ini menunjukkan bahwa bisnis inti Apple cenderung stagnan. Para analis khawatir Apple tertinggal dalam "perlombaan AI" dibandingkan pesaing seperti Google Pixel.

Meskipun AirPods sangat menarik dan lebih sering di-upgrade karena mudah hilang, Lou Whiteman berpendapat bahwa keunggulan konsumen Apple sering kali berasal dari keterpaksaan (ekosistem "walled garden") daripada superioritas produk semata. Kisah AirPods, di mana konsumen memiliki pilihan Bluetooth di luar ekosistem Apple, menunjukkan bahwa rekayasa Apple mungkin bukan satu-satunya pilihan terbaik. Bagi investor, harapan terbesar kini terletak pada segmen layanan, namun pertanyaan muncul seberapa banyak lagi yang bisa "diperas" dari konsumen yang sudah menggunakan perangkat Apple.

Data Ekonomi yang Mendinginkan: Pasar Tenaga Kerja dan Inflasi

Di sisi ekonomi, Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS) baru-baru ini merilis revisi data pekerjaan setahun penuh hingga Maret 2025. Data ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat kehilangan 911.000 pekerjaan yang sebelumnya diperkirakan telah tercipta. Meskipun data ini tertunda, revisi ini memberikan gambaran yang lebih akurat dan menunjukkan tren ekonomi yang lebih dingin dari perkiraan.

Lou Whiteman menjelaskan bahwa data ini, meskipun tidak real-time, mengindikasikan tren jangka panjang menuju perlambatan ekonomi. Jika ini adalah tren yang berkelanjutan, tugas Federal Reserve (The Fed) untuk mengelola kebijakan moneter mungkin menjadi lebih mudah, karena ada lebih banyak alasan untuk mempertimbangkan penurunan suku bunga. Kabar baik lainnya datang dari angka Indeks Harga Produsen (PPI) yang jauh lebih dingin dari perkiraan. Hal ini mengurangi kekhawatiran akan "stagflasi," yaitu kondisi di mana inflasi tinggi namun pertumbuhan ekonomi lesu, sebuah skenario yang sangat sulit ditangani oleh The Fed karena satu-satunya alat yang mereka miliki (suku bunga) akan menarik ke arah yang berbeda.

Rachel Warren menambahkan bahwa sebagian besar periode yang dicakup laporan ini terjadi sebelum kebijakan administrasi saat ini terkait tarif. Namun, data beberapa bulan terakhir juga menunjukkan pasar tenaga kerja yang melunak. Misalnya, pertumbuhan gaji rata-rata pada Juni, Juli, dan Agustus hanya sekitar 29.000 per bulan, jauh di bawah tingkat yang diperlukan untuk menjaga tingkat pengangguran tetap stabil. Sektor-sektor yang mengalami penurunan terbesar termasuk rekreasi dan perhotelan, serta perdagangan ritel. Laporan PPI juga menunjukkan fundamental inflasi yang lebih baik, dengan sektor jasa mengalami deflasi 0,2% dan harga barang hanya naik 0,1%. Meskipun demikian, ketidakpastian masih ada, terutama jika tarif dan kebijakan lain menyebabkan tekanan tambahan bagi perusahaan.

Pada akhirnya, data ini, meskipun harus dicermati dengan hati-hati, menunjukkan perlambatan ekonomi yang mungkin membuat keputusan The Fed terkait penurunan suku bunga menjadi lebih masuk akal. Masa liburan mendatang akan menjadi indikator penting bagaimana konsumen bereaksi terhadap harga dan kondisi ekonomi secara keseluruhan.

Oracle: Melambung Tinggi dengan Janji AI

Setelah pasar tutup pada hari Selasa, Oracle melaporkan pendapatan yang sebenarnya meleset dari perkiraan baik untuk pendapatan maupun laba. Namun, saham perusahaan melonjak 40% pada hari berikutnya, menandai hari terbaiknya sejak awal tahun 90-an. Pemicu utama lonjakan ini adalah pengungkapan "Kewajiban Kinerja Tersisa" (Remaining Performance Obligations/RPO) Oracle yang mencapai angka luar biasa $455 miliar. Angka RPO ini lebih dari tiga kali lipat dalam tiga bulan saja.

Rachel Warren menjelaskan bahwa pertumbuhan pendapatan database multicloud Oracle yang naik 1500% tahun-ke-tahun juga menjadi sorotan, sebagian besar berkat kemitraan dengan Amazon, Google Alphabet, dan Microsoft. Oracle telah memposisikan dirinya sebagai tujuan utama bagi perusahaan AI yang membangun pusat data berskala besar untuk melatih dan menjalankan model AI mereka. Infrastruktur Cloud Oracle (OCI) menyediakan komputasi kinerja tinggi, GPU penting, dan jaringan yang dibutuhkan untuk beban kerja AI yang menuntut. Perusahaan ini mengklaim sebagai pilihan yang lebih cepat dan hemat biaya dibandingkan penyedia hyperscaler lainnya.

Larry Ellison, CEO Oracle, juga mengumumkan akan memperkenalkan layanan infrastruktur cloud baru bernama Oracle AI Database. Layanan ini akan memungkinkan pelanggan menggunakan model bahasa besar pilihan mereka di atas database Oracle untuk mengakses dan menganalisis data yang ada. Potensi pertumbuhan ini sangat besar, dengan proyeksi OCI akan tumbuh 77% menjadi $18 miliar tahun fiskal ini, kemudian mencapai $32 miliar, $73 miliar, $114 miliar, dan $144 miliar selama empat tahun berikutnya. Angka-angka ini mendorong spekulasi bahwa Oracle bisa menjadi perusahaan triliun dolar berikutnya.

Namun, Lou Whiteman menyuarakan kehati-hatian. Meskipun RPO $455 miliar terdengar fantastis, itu bukanlah jaminan pendapatan di masa depan. Tidak ada yang tahu pasti berapa banyak dari kewajiban kinerja ini yang akan benar-benar berubah menjadi pendapatan. Skenario optimistis adalah kebutuhan komputasi AI, misalnya dari OpenAI, akan terus mendorong aliran uang tak terbatas. Namun, skenario pesimistis adalah jika pasar berubah atau perusahaan AI menghadapi kesulitan keuangan, semua janji ini bisa menguap. Lonjakan saham Oracle sejak Juni (dua kali lipat) menciptakan kegelisahan bagi investor yang ingin masuk ke reli ini. Oracle bisa menjadi cara yang menarik untuk bermain di ruang AI, tetapi valuasi saat ini mungkin belum mencerminkan realitas bisnis secara keseluruhan.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, pasar teknologi saat ini menampilkan gambaran yang kompleks: Apple menghadapi tantangan inovasi di tengah kematangan bisnis, sementara Oracle melonjak tinggi di tengah euforia AI dengan janji pertumbuhan yang masif. Data ekonomi yang masuk, dengan pasar tenaga kerja yang lebih lemah dan inflasi yang mendingin, menambahkan lapisan ketidakpastian namun juga potensi perubahan kebijakan. Investor berada di persimpangan jalan, mencoba memahami apakah kita berada di awal era revolusi AI atau hanya di puncak gelembung yang rapuh. Waktu akan menjawab bagaimana kisah-kisah ini akan berkembang.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org