Gary Cohn: Tarif Jadi Biang Kerok Sulitnya Cari Kerja

Ilustrasi visual seorang ahli ekonomi berbicara di depan grafik data yang menunjukkan tren kenaikan biaya dan penurunan lapangan kerja, mencerminkan dampak tarif pada pasar kerja.

Di tengah gejolak pasar kerja global, pernyataan seorang pakar ekonomi terkemuka kerap menjadi sorotan. Gary Cohn, mantan penasihat ekonomi utama dalam pemerintahan Donald Trump, baru-baru ini menyuarakan pandangannya yang cukup menohok mengenai salah satu faktor penyebab sulitnya mencari pekerjaan saat ini: kebijakan tarif. Menurut Cohn, yang pernah menjabat sebagai direktur Dewan Ekonomi Nasional, tarif yang diterapkan oleh pemerintah telah secara signifikan meningkatkan biaya operasional bagi banyak perusahaan. Fenomena ini, pada gilirannya, menciptakan tekanan ekonomi yang berujung pada perlambatan atau bahkan pembekuan dalam proses perekrutan tenaga kerja, membuat pencarian pekerjaan menjadi sebuah tantangan yang semakin berat bagi banyak individu.

Cohn menjelaskan bahwa kebijakan tarif secara fundamental mengubah lanskap biaya bagi pelaku bisnis. Ketika biaya input—material, komponen, atau barang setengah jadi yang diimpor—meningkat akibat tarif, perusahaan dihadapkan pada dilema. Mereka tidak bisa begitu saja menaikkan harga jual produk atau layanan mereka kepada konsumen karena khawatir akan kehilangan pangsa pasar atau memicu inflasi yang lebih luas. Dalam situasi seperti ini, opsi yang paling mudah dijangkau dan dapat dikontrol oleh manajemen untuk menjaga margin keuntungan tetap stabil adalah dengan memangkas pengeluaran internal. Dan, seringkali, ‘lever’ pertama yang ditarik adalah biaya tenaga kerja.

“Satu-satunya tuas yang dapat mereka tarik untuk memastikan margin mereka tetap utuh adalah dengan mengurangi biaya tenaga kerja,” ujar Cohn dalam sebuah wawancara di acara Face the Nation. Pernyataan ini menegaskan bagaimana tekanan ekonomi dari tarif secara langsung berimbas pada keputusan perusahaan terkait ketenagakerjaan. Bukan hanya berarti perusahaan enggan merekrut karyawan baru, tetapi juga dapat memicu kebijakan pembatasan biaya lainnya, seperti moratorium kenaikan gaji, pengurangan tunjangan, atau bahkan gelombang PHK. Dampak domino ini menciptakan efek mengerikan di pasar kerja, di mana ketersediaan posisi menjadi langka dan persaingan semakin ketat.

Analisis Cohn ini tidak datang tanpa konteks. Selama bertahun-tahun, isu tarif telah menjadi bagian integral dari kebijakan perdagangan banyak negara, termasuk Amerika Serikat. Argumen di baliknya seringkali adalah untuk melindungi industri domestik, mendorong produksi lokal, atau sebagai alat negosiasi dalam hubungan internasional. Namun, seperti yang diutarakan Cohn, ada konsekuensi yang tidak terhindarkan di sisi lain. Kenaikan harga barang impor, meskipun dimaksudkan untuk membuat produk domestik lebih kompetitif, justru dapat membebani perusahaan yang sangat bergantung pada rantai pasokan global. Perusahaan-perusahaan ini, yang mungkin merakit produk di dalam negeri tetapi mengandalkan komponen dari luar, merasakan dampak langsung dari tarif sebagai peningkatan biaya operasional yang substansial.

Tentu saja, pandangan Cohn memiliki kontra-narasi dari pihak Gedung Putih. Juru bicara Gedung Putih, Kush Desai, dalam sebuah pernyataan kepada Fortune, menegaskan bahwa kebijakan tarif Presiden Trump telah berhasil mendorong investasi triliunan dolar untuk pembangunan di Amerika Serikat dan menciptakan lapangan kerja bagi warga Amerika. Desai menambahkan, “Pemerintahan tetap fokus pada penerapan serangkaian kebijakan pertumbuhan sisi penawaran penuh seperti pemotongan pajak, deregulasi, dan kelimpahan energi untuk mengurangi biaya dan memulihkan dinamisme ekonomi yang dialami warga Amerika selama masa jabatan pertama Presiden Trump.” Perspektif ini menyoroti manfaat jangka panjang yang diyakini berasal dari tarif, yaitu mendorong kemandirian ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada produk asing, yang pada akhirnya akan memperkuat basis manufaktur domestik dan menciptakan lebih banyak pekerjaan secara lokal.

Namun, data pasar kerja terkini tampaknya memberikan bobot pada argumen Cohn. Sektor teknologi, yang selama ini dikenal sebagai lokomotif pertumbuhan dan inovasi, justru mengalami gelombang PHK yang signifikan. Perusahaan-perusahaan raksasa seperti Google, Microsoft, dan Meta telah melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap puluhan ribu karyawan mereka tahun ini. Menurut Layoffs.fyi, sebuah situs yang melacak PHK di industri teknologi, hampir 90.000 pekerja teknologi telah kehilangan pekerjaan mereka di 204 perusahaan hanya dalam setahun ini saja. Angka ini mencerminkan tren yang mengkhawatirkan dan menyiratkan bahwa bahkan sektor yang paling tangguh pun tidak kebal terhadap tekanan ekonomi yang ada.

Cohn, yang kini menjabat sebagai wakil ketua IBM, berpendapat bahwa pemotongan pekerjaan ini telah mulai merembet dan memengaruhi perekonomian secara lebih luas. Data pekerjaan terbaru dari Biro Statistik Tenaga Kerja menunjukkan penambahan lapangan kerja yang melambat secara signifikan. Hanya 22.000 pekerjaan yang ditambahkan pada bulan Agustus, turun drastis dari 79.000 pada bulan Juli. Angka-angka ini menjadi indikasi jelas adanya perlambatan momentum di pasar kerja. Sebagai respons terhadap kondisi ini, Federal Reserve minggu lalu memutuskan untuk menurunkan suku bunga sebesar seperempat poin persentase. Langkah ini diambil dengan harapan dapat membendung gelombang perlambatan ekonomi dan memberikan stimulus yang dibutuhkan untuk menggerakkan kembali roda perekonomian, termasuk sektor ketenagakerjaan.

Meskipun demikian, Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, dalam konferensi pers menyusul pertemuan The Fed, menyatakan bahwa tingkat PHK secara keseluruhan masih tergolong rendah. Namun, ia juga mengakui adanya kesulitan yang meningkat dalam mencari pekerjaan, terutama bagi lulusan muda dari Generasi Z. Powell secara eksplisit menyebutkan, “anak-anak yang baru lulus kuliah dan orang-orang muda, minoritas, mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan.” Pernyataan ini diperkuat oleh kasus seorang pemuda berusia 25 tahun yang nekat berjalan-jalan di Wall Street sambil membawa poster untuk melobi posisi entry-level, setelah melamar lebih dari 1.000 pekerjaan secara daring tanpa hasil yang memuaskan. Kisah ini menjadi gambaran nyata dari perjuangan yang dihadapi oleh banyak pencari kerja saat ini.

Tren ini menandai sebuah pembalikan signifikan dari situasi selama era pandemi COVID-19. Pada masa itu, banyak perusahaan justru melakukan "perekrutan gila-gilaan" (hiring frenzy) karena ketidakpastian dan kebutuhan mendesak untuk menjaga operasional. Perusahaan-perusahaan ini cenderung "menimbun tenaga kerja" (hoarding labor) karena khawatir tidak dapat menarik dan mempertahankan karyawan di tengah kondisi yang tidak menentu. Kini, Cohn melihat pergeseran fundamental. “Kami beralih dari situasi menimbun tenaga kerja ke situasi saat ini di mana perusahaan sangat agresif dalam mengelola pengeluaran mereka, dan satu-satunya pengeluaran yang dapat mereka kelola adalah biaya tenaga kerja,” jelas Cohn. Selain pembekuan rekrutmen baru, banyak perusahaan juga membiarkan tenaga kerja mereka menyusut secara alami seiring dengan pensiunnya karyawan, tanpa mengisi kembali posisi yang kosong.

Menariknya, meskipun warga Amerika menghadapi pencarian pekerjaan yang semakin panjang dan sulit, Cohn menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan justru berkinerja cukup baik. Pendapatan korporasi dilaporkan naik 6,3% pada kuartal kedua, sementara laba perusahaan melonjak dua digit. Ini menunjukkan adanya disparitas antara kesehatan keuangan korporasi dan kondisi pasar kerja bagi individu. Data konkret maupun anekdot menunjukkan degradasi yang nyata di pasar kerja. Anggota Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) telah mengisyaratkan setidaknya dua pemotongan suku bunga lagi mungkin akan dilakukan tahun ini, sebuah langkah yang diharapkan dapat membantu mengatasi sisi ketenagakerjaan dari mandat ganda The Fed, yaitu menjaga stabilitas harga dan mencapai lapangan kerja maksimum.

Meskipun pasar kerja menunjukkan tanda-tanda degradasi, Cohn juga memberikan sedikit catatan optimistis. “Ini mungkin sementara, mungkin sangat sementara, tetapi kenyataannya adalah, kita telah melihat pasar kerja memburuk,” kata Cohn. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa tekanan yang ada mungkin bukan merupakan kondisi permanen, melainkan fase siklus ekonomi yang dapat diatasi. Namun, untuk saat ini, para pencari kerja harus bersiap menghadapi medan yang lebih menantang, dengan pemahaman bahwa kebijakan ekonomi makro, termasuk tarif, memiliki peran yang tidak kecil dalam membentuk dinamika ketenagakerjaan yang kita saksikan.

Situasi ini menuntut adaptasi dari para pencari kerja, baik dalam hal keterampilan, fleksibilitas, maupun strategi pencarian. Pada saat yang sama, ini juga menjadi pengingat bagi para pembuat kebijakan tentang pentingnya menimbang secara cermat seluruh dampak dari setiap keputusan ekonomi, agar tujuan perlindungan industri domestik tidak berujung pada pengorbanan kualitas hidup dan peluang kerja bagi masyarakat luas. Masa depan pasar kerja akan sangat bergantung pada bagaimana pemerintah, bisnis, dan individu merespons tantangan-tantangan ini dengan strategi yang tepat dan adaptif.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org