Afrika Menghadapi Tarif AS: Pelajaran untuk Ekonomi Berkembang

Potret Bintu Zahara Sakor, peneliti doktoral di PRIO, yang mengemukakan pandangannya tentang dampak tarif perdagangan AS terhadap ekonomi Afrika.

Hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan benua Afrika seringkali berada dalam sorotan, terutama di tengah dinamika kebijakan luar negeri yang terus berubah. Presiden AS sebelumnya, Donald Trump, dikenal dengan pandangannya yang tidak selalu pro-Afrika, bahkan sempat meremehkan beberapa negara di sana. Namun, pada Juli 2024, sempat muncul secercah harapan saat ia mengumumkan pergeseran fokus dari "bantuan menjadi perdagangan" dalam upaya memperkuat ikatan AS dengan Afrika. Pernyataan ini disambut dengan skeptisisme mengingat rekam jejak kebijakan Trump yang telah membubarkan USAID, sebuah lembaga bantuan utama AS, serta menimbulkan dampak sosial negatif di beberapa negara di Afrika.

Pergeseran menuju perdagangan dan investasi, yang diharapkan dapat mendorong kemandirian dan kemakmuran bersama, tampaknya berbanding terbalik dengan kebijakan yang diterapkan tak lama setelahnya. Beberapa minggu kemudian, Trump mengumumkan Tarif Timbal Balik yang mengejutkan 22 negara Afrika. Tarif baru ini, berkisar antara 15% hingga 30%, mulai berlaku pada 7 Agustus 2024 dan menimbulkan gelombang kejut di seluruh benua.

Dampak Tak Terduga dari Tarif Dagang AS

Penerapan tarif ini menciptakan ketidakpastian yang signifikan bagi pelaku bisnis dan investor di Afrika. Negara-negara seperti Afrika Selatan, Aljazair, dan Libya terkena dampak paling parah dengan tarif sebesar 30%, sementara Tunisia dikenakan tarif 25%. Bahkan negara-negara kecil seperti Lesotho, Chad, dan Guinea Khatulistiwa yang tengah berjuang dengan krisis ekonomi, tidak luput dari tarif 15%.

Bintu Zahara Sakor, seorang peneliti doktoral di Peace Research Institute Oslo (PRIO), menyoroti kontradiksi antara janji untuk memperluas perdagangan dengan Afrika dan penerapan tarif hukuman yang berpotensi merugikan benua tersebut. "Pesan yang campur aduk ini menciptakan ketidakpastian bagi bisnis dan investor Afrika," ujarnya. Pada akhirnya, kebijakan ini justru berpotensi menghambat perdagangan yang semula ingin didorong oleh AS.

Ekonomi Raksasa dalam Krisis

Meskipun tarif ini hanya menargetkan sekitar separuh negara di Afrika, dampaknya terasa sangat signifikan pada dua ekonomi terbesar di benua tersebut: Afrika Selatan (30%) dan Nigeria (15%). Banyak negara lain yang terdampak juga tengah bergulat dengan kemiskinan ekstrem dan tantangan penciptaan lapangan kerja, seperti Botswana yang ekonominya sedang mengalami resesi.

Secara angka, ekspor Afrika ke AS memang tidak terlalu besar, hanya sekitar 1,5% dari PDB kolektif benua itu, atau sekitar 1,2% dari total impor AS. Namun, angka-angka ini tidak menceritakan keseluruhan cerita. Selama 25 tahun, hubungan perdagangan AS-Afrika didominasi oleh akses bebas bea di bawah African Growth and Opportunity Act (AGOA). Dengan jadwal tarif baru ini, Trump secara efektif mengabaikan AGOA, merusak prospek ekspor masa depan di berbagai sektor seperti otomotif, mesin, tekstil, pakaian, mineral, dan produk pertanian.

Patrick Bond, seorang profesor sosiologi di University of Johannesburg, Afrika Selatan, berpendapat bahwa yang terjadi di bawah pemerintahan Trump adalah "imperialisme AS", dan memprediksi bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh tarif ini akan sangat besar bagi benua tersebut. Sebagai contoh, Afrika Selatan, mitra dagang terbesar kedua AS setelah Tiongkok, mengalami dampak signifikan pada industri pertanian dan manufaktur otomotifnya. Ekspor otomotif ke AS, yang pada tahun 2024 bernilai sekitar $1,9 miliar, telah anjlok rata-rata 60% tahun ini. Kondisi ini mengancam 100.000 lapangan kerja di Afrika Selatan, sebuah negara dengan tingkat pengangguran 33%.

Situasi lebih buruk terjadi di Lesotho, salah satu negara termiskin di dunia dengan tingkat pengangguran pemuda mencapai 48%. Pemerintah Lesotho telah menyatakan "keadaan darurat" karena tarif AS diperkirakan akan menghancurkan industri tekstil dan pakaiannya yang mempekerjakan 40.000 orang dan menyumbang sekitar 20% dari PDB negara. Lesotho adalah salah satu pengekspor garmen terbesar ke AS berkat AGOA, dengan total ekspor sebesar $237,2 juta ke pasar AS pada tahun 2024, di mana 75% di antaranya adalah ekspor garmen.

Mencari 'Plan B': Strategi Perdagangan Masa Depan Afrika

Tarif yang diberlakukan oleh Trump menuntut "respons kebijakan cepat" untuk menjaga prospek ekonomi jangka panjang Afrika, demikian desak Sakor. Dengan berakhirnya era AGOA, Washington kini menginginkan pergeseran ke kesepakatan bilateral yang mengekstrak konsesi, seperti akses pasar untuk barang-barang AS atau keselarasan dalam isu-isu geopolitik. Negara-negara seperti Maroko dan Kenya, yang memiliki atau sedang menegosiasikan Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) dengan AS, menjadi contoh negara yang terhindar dari dampak tarif ini.

Dengan kondisi AS yang semakin tegas, Afrika kini harus menyusun "Plan B" untuk kebijakan perdagangannya di masa depan. Salah satu langkah awal adalah memperdalam perdagangan intra-Afrika dengan mempercepat implementasi African Continental Free Trade Area (AfCFTA). Secara teori, AfCFTA memiliki potensi untuk meningkatkan perdagangan intra-benua hingga 53% dari sekitar 18% saat ini, menumbuhkan sektor manufaktur sebesar $1 triliun, menghasilkan pendapatan $470 miliar, dan menciptakan 14 juta lapangan kerja pada tahun 2035, menurut African Export-Import Bank (Afreximbank).

Tantangan Implementasi dan Diversifikasi Mitra

Namun, enam tahun setelah perjanjian ditandatangani, benua itu belum mencatat manfaat nyata. Perdagangan intra-Afrika pada tahun 2024 hanya bernilai $208 miliar, peningkatan 7,7% dari tahun sebelumnya. Kendala lainnya termasuk disintegrasi blok komunitas ekonomi regional dan meningkatnya hambatan non-tarif. "AfCFTA secara teori menggembirakan, tetapi belum memberikan peluang pasar yang saling menguntungkan," kata Bond.

Oleh karena itu, Afrika mungkin terpaksa mengambil jalur tindakan yang berbeda: memperkuat hubungan perdagangan dengan Tiongkok sambil menjajaki peluang di pasar global lainnya. Selama 25 tahun terakhir, Tiongkok telah menjadi mitra dagang terbesar Afrika. Nilai perdagangan dengan Tiongkok mencapai $294,3 miliar pada tahun 2024, meningkat drastis dari $13,9 miliar pada tahun 2000. Jumlah ini jauh melampaui perdagangan AS-Afrika yang bernilai $104,9 miliar pada tahun 2024.

Namun, keterlibatan Tiongkok juga memiliki sisi baik dan buruk. Beijing membanjiri Afrika dengan barang-barang murah, membuat industri-industri baru tidak kompetitif. Ini, ditambah dengan pelajaran dari perilaku tidak stabil Washington, menunjukkan bahwa benua tersebut perlu menjalin kesepakatan yang seimbang dan resiprokal dengan berbagai mitra dagang. Diversifikasi dapat memberdayakan Afrika untuk menentukan narasi perdagangannya sendiri, demikian saran Sakor, dan ini sangat penting jika benua itu ingin mendorong pertumbuhan berkelanjutan di luar preferensi unilateral seperti AGOA.

Uni Eropa, Rusia, India, Jepang, Korea Selatan, dan Timur Tengah adalah beberapa pasar yang menawarkan peluang bagi Afrika untuk memperdalam hubungan perdagangan. Afrika harus memutuskan apakah akan menerima tarif AS yang lebih tinggi sebagai biaya berbisnis, memperkuat hubungannya dengan Tiongkok dan Rusia, atau mengambil pendekatan yang lebih beragam. Dua pilihan terakhir, jelas, hanya akan semakin menjauhkan benua itu dari Washington. Keputusan strategis ini akan membentuk masa depan ekonomi Afrika di panggung global.

Posting Komentar untuk "Afrika Menghadapi Tarif AS: Pelajaran untuk Ekonomi Berkembang"