AI dan Perbankan Digital: Inovasi, Tantangan, dan Masa Depan di Indonesia

Diskusi panel empat ahli tentang dampak dan masa depan AI dalam transformasi perbankan digital di Indonesia.

Dalam lanskap keuangan yang terus berkembang pesat, integrasi kecerdasan buatan (AI) ke dalam sektor perbankan digital bukan lagi sekadar tren, melainkan sebuah keharusan strategis. Sebuah forum diskusi mengenai AI, Digital Banking, dan Inovasi menyoroti bagaimana para pemimpin industri perbankan dan teknologi di seluruh dunia, termasuk yang relevan dengan konteks Indonesia, sedang menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang transformatif ini. Diskusi ini mempertemukan para ahli dari CTBC Bank, CGI, DBS Bank, dan Smartstream, yang berbagi wawasan mendalam mengenai perjalanan adopsi AI, tantangan yang dihadapi, serta visi mereka untuk masa depan.

Key Points:

  • Pendorong utama adopsi AI di perbankan adalah peningkatan layanan pelanggan, efisiensi operasional, dan kepuasan karyawan.
  • Kualitas data dan tata kelola data yang kuat menjadi fondasi krusial bagi keberhasilan implementasi AI.
  • Perubahan budaya dan mengatasi ketakutan terhadap AI merupakan tantangan signifikan yang harus diatasi.
  • AI dapat memberikan ROI nyata melalui otomatisasi proses, pengurangan biaya, dan peningkatan pendapatan.
  • Pentingnya mengukur nilai AI secara konkret, seperti yang dilakukan DBS Bank dengan publikasi di laporan tahunan mereka.
  • Keterampilan masa depan yang esensial melibatkan rasa ingin tahu, pemikiran kritis, dan adaptabilitas terhadap perubahan.
  • Pencegahan penipuan berbasis AI dan manajemen risiko adalah prioritas utama untuk menjaga kepercayaan pelanggan.
  • Teknologi baru seperti Agentic AI dan Model Context Protocol (MCP) menawarkan potensi besar namun memerlukan kerangka kerja yang transparan dan teruji.
  • Tantangan struktural bank yang terkotak-kotak (silo) menjadi penghalang utama, sementara peluang terbesar adalah efisiensi biaya dan ekspansi pasar.

Mengapa AI Penting bagi Perbankan di Indonesia?

Penerapan AI dalam perbankan digital didorong oleh berbagai faktor strategis yang bertujuan untuk meningkatkan nilai bagi pelanggan, karyawan, dan pemangku kepentingan. Di CTBC Bank, Alan Sung menjelaskan bahwa investasi AI didasarkan pada filosofi ‘kami adalah keluarga’, yang mendorong penggunaan AI untuk membuat perbankan lebih cerdas, aman, kuat, dan personal. Hal ini sangat relevan di Indonesia, di mana personalisasi layanan dapat meningkatkan inklusi keuangan dan menjangkau segmen pasar yang lebih luas.

Andy Schmidt dari CGI melihat adopsi AI sebagai kelanjutan alami dari otomasi yang ada, dengan tujuan utama meningkatkan kecerdasan perusahaan. Seperti halnya di Indonesia, banyak bank telah memulai dengan otomasi proses robotik (RPA) dan kini beralih ke AI untuk tugas yang lebih kompleks, seperti menghasilkan proposal bid atau mengekstrak elemen sukses dari proyek. Nimish Panchmatia dari DBS Bank menegaskan bahwa AI selalu dimulai dengan pelanggan, yaitu bagaimana AI dapat menciptakan nilai lebih bagi mereka, sekaligus membuat pekerjaan lebih baik dan cerdas, serta meningkatkan nilai pemangku kepentingan secara keseluruhan. Bagi perbankan Indonesia, ini berarti AI tidak hanya tentang efisiensi, tetapi juga tentang menciptakan pengalaman pelanggan yang lebih mulus, terutama dalam layanan digital.

Sebagai vendor, Robin Hasson dari Smartstream menyoroti bagaimana AI mempercepat pengembangan solusi melalui prototyping, evaluasi, dan ideasi yang cepat, serta meningkatkan efisiensi operasional internal. Ini adalah aspek krusial bagi bank-bank di Indonesia yang berupaya untuk berinovasi lebih cepat dan mengurangi biaya operasional dalam menghadapi persaingan ketat dari fintech.

Mengatasi Tantangan Budaya dan Data dalam Adopsi AI

Perubahan Budaya Menuju "AI-First"

Perjalanan menuju adopsi AI secara penuh melibatkan perubahan budaya yang signifikan. Nimish Panchmatia dari DBS Bank menceritakan pengalaman mereka sejak 2014, di mana tantangan terbesar awalnya adalah ketakutan terhadap data. Untuk mengatasinya, mereka melakukan perjalanan untuk membiasakan seluruh organisasi dengan data, menyebutnya “data first” sebelum menjadi “AI first”. Pendekatan ini memiliki tiga komponen: manusia dan budaya (meningkatkan keterampilan tim, kenyamanan dengan alat baru, mendorong pertanyaan berbasis data dengan rubrik "tunjukkan datanya"), proses (kualitas data), dan investasi besar dalam platform tunggal. Di Indonesia, tantangan serupa juga terjadi, di mana literasi digital dan resistensi terhadap perubahan seringkali menjadi hambatan. Program pelatihan dan perubahan pola pikir karyawan sangat penting untuk menyukseskan transformasi digital berbasis AI.

Robin Hasson dari Smartstream menambahkan bahwa ketakutan awal pengembang dan desainer terhadap AI yang akan mengambil pekerjaan mereka dapat diubah menjadi pemberdayaan. Seorang pengembang yang menggunakan alat coding AI yang efektif dapat bekerja sepuluh kali lebih cepat, mempercepat proyek pengembangan. Ini menunjukkan bahwa dengan pola pikir yang tepat, AI justru dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi, suatu hal yang krusial untuk meningkatkan daya saing talenta digital di Indonesia.

Manajemen Kualitas Data dan Tata Kelola AI

Kualitas data adalah fondasi utama keberhasilan AI. Andy Schmidt dari CGI mengidentifikasi kesalahan umum seperti kurangnya rencana tata kelola data, kualitas data yang buruk, dan tujuan pengukuran yang tidak jelas. Ia menekankan pentingnya memikirkan ulang alur kerja untuk benar-benar memanfaatkan kemampuan AI yang mengakselerasi. Contohnya, mengurangi waktu pembuatan persyaratan perangkat lunak dari minggu menjadi hari dengan interaksi agen AI.

Alan Sung dari CTBC Bank menghadapi tantangan data heterogen dari separuh populasi Taiwan. Dia menyoroti pertanyaan krusial tentang bagaimana mempertahankan kebersihan dan silsilah data dalam fase AI dan GenAI, mengingat data dari berbagai sumber dan jenis. Untuk mengatasi ini, mereka mendirikan Komite Tata Kelola Data dan AI. Di Indonesia, dengan beragamnya data dari berbagai daerah dan sistem perbankan yang berbeda, tantangan ini semakin kompleks. Pentingnya tata kelola data yang kuat menjadi kunci untuk mematuhi regulasi seperti UU PDP.

Nimish Panchmatia dari DBS Bank mengakui sulitnya mengelola enam petabyte data di platform analitik mereka, menekankan pentingnya metadata dan silsilah data yang benar. Dia juga mencatat bahwa kualitas data internal bisa sama bermasalahnya dengan data eksternal karena pengembangan perangkat lunak tradisional jarang menganggap data sebagai elemen kritis. Oleh karena itu, investasi besar dalam kualitas data adalah “kerja keras yang membutuhkan waktu bertahun-tahun”. Robin Hasson dari Smartstream menjelaskan bagaimana platform rekonsiliasi mereka mengidentifikasi data yang baik dan buruk, merekomendasikan perbaikan, dan pada akhirnya meningkatkan kualitas data. Ini membantu bank di Indonesia dalam menyaring dan membersihkan data yang kompleks dari transaksi sehari-hari.

Mengukur ROI dan Membangun Kepercayaan dengan AI

Mendefinisikan Nilai Bisnis AI

Menentukan laba atas investasi (ROI) dari implementasi AI adalah hal yang penting. Andy Schmidt dari CGI menyarankan untuk memulai dengan mendefinisikan tujuan bisnis (meningkatkan proses, mengurangi biaya, atau mendorong pendapatan) dan cara mengukur kesuksesan. Banyak bank kini melihat potensi AI untuk menghasilkan pendapatan, seperti mempercepat underwriting pinjaman atau mengoptimalkan orientasi pelanggan. Ini adalah area yang sangat relevan bagi perbankan di Indonesia untuk memperluas jangkauan layanan kredit dan mempercepat proses akuisisi nasabah.

DBS Bank, seperti yang diungkapkan Nimish Panchmatia, adalah salah satu dari sedikit institusi keuangan global yang mempublikasikan nilai AI dalam laporan tahunan mereka, dengan nilai yang diharapkan mencapai miliaran dolar. Ini menunjukkan komitmen serius terhadap pengukuran nilai AI secara konkret, baik dari segi penghematan biaya, pendapatan, pengalaman pelanggan, maupun pengalaman karyawan. Robin Hasson memberikan contoh nyata di mana teknologi Smartstream menghasilkan pengurangan 52% upaya manual dalam rekonsiliasi, yang mengarah pada efisiensi dan pengurangan ketergantungan pada karyawan kunci. Kemampuan AI untuk menangkap dan mengabadikan pengetahuan ini sangat berharga, terutama saat generasi "baby boomer" pensiun, di mana pengetahuan institusional berisiko hilang.

Etika, Privasi, dan Batasan dalam Implementasi AI

Seiring dengan potensi besar AI, muncul pula tanggung jawab untuk memastikan etika, privasi, dan keamanan data. Nimish Panchmatia menjelaskan inisiatif "Next Best Nudges" DBS, yang memberikan saran investasi dan keuangan yang dipersonalisasi kepada 13 juta pelanggan. Keberhasilan ini diukur dengan metode "test-and-control". Untuk menjaga privasi, DBS menggunakan rubrik PURE (Purposeful, Unsurprising, Respectful, Explainable) untuk setiap kasus penggunaan AI. Kerangka kerja seperti PURE sangat penting untuk bank di Indonesia guna membangun kepercayaan pelanggan dan mematuhi regulasi privasi data yang ketat.

Alan Sung dari CTBC Bank menyoroti risiko penipuan berbasis AI yang terus berkembang. Mereka membangun sistem deteksi penipuan bertenaga AI, AI Skynet, yang belajar dari data lintas saluran dan mengurangi positif palsu. Selain itu, CTBC bekerja sama dengan kepolisian, regulator, dan pihak ketiga lainnya untuk membangun ekosistem anti-penipuan, yang merupakan pendekatan kolaboratif yang sangat dibutuhkan di Indonesia untuk memerangi kejahatan siber finansial yang semakin canggih.

Mempersiapkan Tenaga Kerja dan Ekosistem AI Masa Depan

Mengembangkan Keterampilan AI

Dalam lingkungan kerja yang didorong oleh AI, keterampilan yang dibutuhkan juga berevolusi. Alan Sung dari CTBC Bank menjelaskan strategi R&D 80/20 mereka, di mana 80% didedikasikan untuk kebutuhan unit bisnis dan 20% untuk inovasi baru seperti GenAI, dengan POCs yang disesuaikan. Dalam hal perekrutan, Robin Hasson dari Smartstream menekankan pengalaman AI, pemahaman data, dan keterampilan desain sebagai prioritas utama. Andy Schmidt dari CGI menambahkan bahwa pelatihan berkelanjutan adalah kunci karena alat AI terus berkembang. Di CTBC, karyawan dilatih dalam Copilot, prompt engineering, dan context engineering untuk mengatasi persepsi AI sebagai "kotak hitam".

Nimish Panchmatia dari DBS Bank menyoroti pentingnya mengembangkan kompetensi inti seperti rasa ingin tahu, ketekunan, manajemen perubahan, dan adaptabilitas. Dia menekankan bahwa meskipun tugas berulang akan diotomatisasi, kreativitas dan pemikiran kritis manusia akan menjadi lebih berharga. DBS telah melipatgandakan upaya peningkatan keterampilan, menargetkan lebih dari 12.000 karyawan dengan pelatihan GenAI dan penggunaan data yang bertanggung jawab. Ini adalah contoh baik bagi bank-bank di Indonesia untuk mempersiapkan tenaga kerja mereka menghadapi transformasi digital.

Tantangan dan Peluang Teknologi Baru: Agentic AI & MCP

Teknologi baru seperti Agentic AI dan Model Context Protocol (MCP) membawa tantangan dan peluang yang menarik. Nimish Panchmatia menjelaskan bahwa Agentic AI, meskipun menjanjikan untuk aplikasi di ritel dan perjalanan, masih memerlukan pengembangan signifikan dalam jejak, auditabilitas, dan manajemen kebijakan untuk proses perbankan yang ketat. Dia memperingatkan untuk menghindari "pilotitis" dan berkomitmen penuh namun dengan pemahaman bahwa tidak semua masalah akan terpecahkan dengan cepat.

Andy Schmidt menekankan bahwa transparansi adalah kunci untuk inisiatif baru seperti ini, dengan solusi yang dirancang bersama regulator dan pengujian menyeluruh. Robin Hasson menambahkan pertanyaan penting tentang bagaimana kita dapat memverifikasi pekerjaan Agentic AI, menyoroti kebutuhan akan pengawasan dan tingkat kepercayaan yang matang.

Mengenai MCP, Nimish Panchmatia melihatnya sebagai keharusan industri, standar protokol yang akan mengurangi pemborosan dan ketidakpastian. Namun, karena MCP memasukkan konteks yang memungkinkan hasil probabilistik, ia membutuhkan "guardrail" yang kuat, mungkin dengan model AI tambahan untuk verifikasi akurasi atau pengawasan manusia. Alan Sung membandingkan MCP dengan Sistem Desimal Dewey, yang menawarkan kesempatan untuk membangun kerangka tata kelola AI yang terstandarisasi. Bagi Indonesia, adopsi MCP dapat menciptakan ekosistem keuangan yang lebih efisien, transparan, dan auditable, mempercepat inovasi dan kolaborasi antarlembaga.

Membuka Potensi Penuh AI: Tantangan Struktural dan Peluang Besar

Apa tantangan terbesar dan peluang paling menarik di masa depan AI dalam lima tahun ke depan? Andy Schmidt percaya bahwa kurangnya keberanian atau imajinasi serta kepuasan diri dapat menghalangi potensi penuh AI. Nimish Panchmatia berpendapat bahwa tantangan terbesar adalah struktural, yaitu bagaimana bank-bank yang telah terorganisir dalam silo selama lebih dari 150 tahun dapat beralih ke pendekatan yang lebih horizontal, berpusat pada pelanggan. Jika tantangan struktural ini dapat diatasi, peluang terbesar adalah perbaikan signifikan dalam rasio biaya-pendapatan, membuat perbankan lebih menarik secara investasi seperti perusahaan teknologi. Hal ini juga akan membuka pasar-pasar yang sebelumnya tidak dapat diskalakan atau diakses oleh bank di Indonesia karena keterbatasan kapasitas dan talenta.

Untuk memastikan inisiatif AI yang sukses, sangat penting untuk memulai dengan titik awal yang jelas dan memikirkan ulang alur kerja yang ada. Prioritaskan kualitas data dan tata kelola yang kuat. Fokus pada peningkatan talenta manusia, membangun kerangka kerja yang solid, dan menerapkan strategi manajemen risiko yang efektif. Definisikan nilai dan metrik bisnis yang jelas. Saat merekrut, prioritaskan kandidat dengan pengalaman dan adaptabilitas AI, serta kembangkan pemikiran kritis dan ketelitian dalam tim. Mengatasi tantangan struktural adalah kunci. Masa depan AI dalam keuangan bukan lagi konsep yang jauh; itu sudah ada di sini. Oleh karena itu, penting untuk mulai bereksperimen, belajar, dan beradaptasi sekarang.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org