COP30 di Brasil: Realisasi Ambisi Keuangan Iklim untuk Indonesia

Seorang wanita profesional di bidang keberlanjutan berbicara di sebuah konferensi, menekankan pentingnya pendanaan iklim dan implementasi nyata.

Tiga puluh tiga tahun setelah KTT Rio Eco 1992 yang menjadi dasar bagi Konferensi Para Pihak (COP) pertama—badan pembuat keputusan terpenting dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC)—KTT ke-30 akan kembali ke Brasil antara tanggal 10-21 November. Kali ini, COP30 akan diselenggarakan oleh kota Belém di Amazon utara, sebuah pilihan yang penuh dengan simbolisme dan tantangan yang sesuai dengan ekspektasi yang menyertainya. Perjanjian Paris 2015, yang membatasi pemanasan global hingga maksimum 2 derajat Celcius—sebaiknya 1.5 derajat—dibandingkan dengan tingkat pra-industri, menjadi dasar untuk tindakan-tindakan tersebut.

Menjelajahi COP30 di Belém: Dari Diskusi ke Aksi Nyata

Menurut UNFCCC, hasil COP30 diharapkan menjadi momen neraca untuk mengkonfigurasi ulang lanskap investasi bagi pemerintah, bank global, dan korporasi selama sisa dekade ini. Salah satu agenda utama adalah operasionalisasi Tujuan Kuantitatif Kolektif Baru (NCQG), sebuah proses yang harus mengumpulkan setidaknya $1.3 triliun pendanaan iklim untuk negara-negara berkembang. Ini harus berjalan seiring dengan munculnya berbagai portofolio instrumen keuangan berbasis alam, yang pada skala besar akan menggeser premi risiko, mengubah biaya modal untuk proyek transisi, dan menciptakan kelas aset baru yang terkait dengan hasil ekosistem. Bagi Indonesia, sebagai negara berkembang dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan rentan terhadap dampak perubahan iklim, implementasi NCQG ini menawarkan peluang signifikan untuk menarik investasi hijau dan mempercepat transisi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Marina Cançado, pendiri dan CEO penasihat keberlanjutan Converge Capital, menyatakan bahwa inilah saatnya COP harus beralih dari diskusi ke implementasi. "Sebagian besar poin perjanjian telah dinegosiasikan," katanya. "Kita perlu bergerak maju. Fokus dan ekspektasi utama juga berpusat pada Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC)—jumlah sukarela yang berkomitmen setiap negara untuk memerangi perubahan iklim—untuk 10 tahun ke depan. Keberhasilan COP30 akan diukur dari pemisahan perjanjian yang ditandatangani dengan tingkat komitmen aktual yang dimulai sekarang." Hal ini menggarisbawahi urgensi bagi negara-negara seperti Indonesia untuk tidak hanya membuat komitmen di atas kertas, tetapi juga menunjukkan kemajuan nyata dalam upaya mitigasi dan adaptasi.

Memobilisasi Pendanaan Iklim: Harapan untuk Negara Berkembang

Laporan bulan September oleh Bank Pembangunan Interamerika (IBD) dalam persiapan COP30 menunjukkan bahwa pendanaan iklim oleh bank pembangunan multilateral (MDBs) naik 10% menjadi $137 miliar pada tahun 2024 dari tahun ke tahun, dengan pendanaan iklim untuk ekonomi berpenghasilan rendah dan menengah meningkat 14% menjadi lebih dari $85 miliar, dan pendanaan swasta untuk investasi iklim melonjak 33%. Peningkatan ini adalah sinyal positif, namun kebutuhan pendanaan masih jauh lebih besar dari yang tersedia saat ini.

Sektor swasta memegang peranan krusial dalam upaya dekarbonisasi. "Sektor swasta adalah pihak yang harus memimpin pengurangan emisi, memikirkan ulang model bisnis, logistik, material, dan proses manufaktur, tetapi mereka akan membutuhkan pembiayaan untuk menyelaraskan tindakan mereka dengan tujuan Paris," ujar Cançado. "Kita perlu melipatgandakan pembiayaan dari $2 triliun per tahun saat ini menjadi antara $8 hingga $9 triliun. Dua pertiga dari sumber daya ini sudah berasal dari sektor swasta, menurut UNFCCC, dan mereka harus terus datang dari sisi persamaan ini." Untuk Indonesia, ini berarti menciptakan iklim investasi yang menarik bagi sektor swasta global untuk berinvestasi dalam proyek-proyek energi terbarukan, kehutanan berkelanjutan, dan adaptasi iklim.

Pergeseran Paradigma Investasi Hijau

Salah satu diskusi sentral COP30 adalah menerjemahkan ambisi politik menjadi modal yang dapat digunakan. Prioritas utama adalah proses NCQG untuk memenuhi $1.3 triliun dalam pembiayaan iklim untuk negara-negara berkembang yang diharapkan akan dioperasionalisasikan pada pertemuan Belém. Menurut Ian Lopes, seorang ekonom dan penasihat investasi di perusahaan investasi Brasil Valor Investimentos, memobilisasi jumlah tersebut memerlukan minimalisasi instrumen risiko yang dapat menarik modal untuk mitigasi dan adaptasi pasar negara berkembang.

"Awalnya kami memiliki ledakan pasar dana investasi yang terkait dengan konsep ESG, tetapi itu telah menurun seiring waktu demi model yang lebih solid yang berfokus pada tata kelola," kata Lopes. "Kita tidak dapat memisahkan efek pasar dari ekonomi kehidupan nyata dan sektor keuangan—mereka sepenuhnya saling terkait—tetapi ada harapan besar COP30 akan menggalvanis kemitraan publik dan swasta untuk mencapai tujuan NCQG sebesar $1.3 triliun. Jelas, perjanjian yang menguntungkan ekonomi global secara keseluruhan berdampak pada sektor keuangan, membuat pasar bereaksi secara instan." Namun, Lopes memperingatkan bahwa implementasi pasar karbon, di mana korporasi membayar untuk emisi mereka, akan meningkatkan biaya produksi, yang harus diimbangi dengan bantuan pemerintah dan dana kedaulatan atau regulasi. Hal ini relevan bagi Indonesia yang juga sedang menjajaki implementasi pasar karbon.

Peluang dan Tantangan untuk Indonesia dalam Transisi Hijau

Meskipun artikel ini berfokus pada Brasil sebagai tuan rumah, Indonesia dapat mengambil banyak pelajaran dan menemukan peluang serupa. Indonesia, dengan luas hutan tropis dan keanekaragaman hayati yang kaya, memiliki peran penting dalam pelestarian iklim global. Inisiatif seperti Tropical Forests Forever Facility (TFFF) yang diusung Brasil, yang bertujuan memberikan insentif finansial untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan, bisa menjadi model yang relevan bagi Indonesia untuk melindungi hutan dan menarik investasi hijau. Indonesia juga memiliki potensi besar dalam energi terbarukan, dengan sumber daya surya, hidro, panas bumi, dan angin yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Menunjukkan potensi ini kepada investor internasional, seperti dana kekayaan negara dari Timur Tengah, adalah kunci untuk menarik modal dan mempercepat transisi energi.

Kredibilitas dan kepastian hukum adalah faktor penting dalam menarik investasi. Seperti halnya Brasil, Indonesia perlu menunjukkan bahwa negara ini adalah tujuan investasi yang baik dan aman, dengan perlindungan hukum yang kuat yang memprioritaskan lingkungan, tata kelola, dan pembangunan ekonomi jangka panjang. Selain itu, dengan kebutuhan global akan pusat data yang semakin meningkat, Indonesia memiliki ruang dan sumber daya air yang memadai untuk menarik investasi besar dalam infrastruktur ini, yang juga membutuhkan pendinginan air. Membangun kepercayaan dan meningkatkan profil negara sebagai hub solusi iklim dan alam global dapat mengkatalisasi sumber daya, menciptakan kekayaan, pekerjaan, dan pertumbuhan PDB, sambil berkontribusi secara global pada transisi yang berkelanjutan.

Jembatan Kesenjangan Ambisi dan Realisasi

Meskipun sektor swasta telah membuat banyak janji menjelang COP30, termasuk penyebaran energi terbarukan yang dipercepat, investasi berbasis alam, dan peluncuran produk hijau, siklus COP sebelumnya menunjukkan adanya kesenjangan antara berita utama dan penyebaran finansial dalam skala besar, menurut data PBB. Ujian krusial di Belém adalah apakah implementasi aspirasional NCQG tidak menjadi hanya sekadar wacana politik, melainkan realokasi modal yang berkelanjutan.

"Sesuai standar COP, perjanjian tidak mengikat dan berfungsi sebagai sinyal bagi negara dan perusahaan," kata Cançado. "Sektor swasta sudah memahami bahwa agenda iklim adalah salah satu inovasi, kemakmuran, dan ketahanan yang masuk akal secara ekonomi. Ukuran keberhasilan perlu diperluas untuk tidak hanya mencakup apa yang dinegosiasikan, tetapi juga keterlibatan dan tindakan konkret." Bagi Indonesia, ini berarti mengukuhkan komitmen melalui kebijakan yang jelas, kerangka regulasi yang mendukung, dan proyek-proyek nyata yang menunjukkan bahwa ambisi iklim dapat diterjemahkan menjadi manfaat ekonomi dan sosial yang nyata bagi masyarakat.

Posting Komentar untuk "COP30 di Brasil: Realisasi Ambisi Keuangan Iklim untuk Indonesia"