Ekonomi China Goyah: Isu Domestik, Bukan Tarif AS Semata

Ilustrasi visual ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, menyoroti isu ekonomi global dan internal.

Gejolak ekonomi global seringkali menjadi sorotan utama, terutama ketika melibatkan dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Perang dagang antara kedua negara ini telah berlangsung selama beberapa tahun, memicu beragam spekulasi mengenai dampaknya terhadap perekonomian Tiongkok. Namun, di balik narasi perang dagang yang mendominasi, para ahli mulai menunjukkan bahwa perlambatan ekonomi Tiongkok jauh lebih kompleks, berakar pada masalah-masalah domestik yang sudah ada sebelum friksi tarif memanas.

Key Points:

  • Negosiasi perdagangan AS-Tiongkok mungkin bisa meredakan tensi tarif jangka pendek, namun masalah fundamental Tiongkok tetap ada.
  • Perlambatan ekonomi Tiongkok utamanya disebabkan oleh isu domestik seperti krisis properti, konsumsi yang lesu, utang pemerintah daerah, dan kehati-hatian sektor swasta.
  • Tiongkok telah berhasil mengurangi ketergantungannya pada AS dengan mengalihkan fokus perdagangan ke Asia Tenggara (termasuk Indonesia) dan Uni Eropa.
  • Potensi kenaikan tarif AS ke 100% diprediksi memiliki dampak terbatas karena pergeseran mitra dagang Tiongkok.
  • Penyelesaian konflik dagang secara menyeluruh mungkin memerlukan perubahan kepemimpinan di kedua negara untuk menemukan strategi yang lebih baik dalam mengelola perbedaan bilateral.

Di Balik Prahara Dagang: Benarkah Tarif AS Penyebab Utama?

Negosiasi dan Harapan Semu

Pada tanggal 26 Oktober, Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mengumumkan bahwa negosiator telah mencapai kerangka kerja perdagangan yang berpotensi mencegah kenaikan tarif hingga 100%. Kerangka ini juga dapat menunda pembatasan ekspor rare earths Tiongkok selama satu tahun, sembari negara tersebut meninjau kembali kebijakannya. Pembicaraan ini berlangsung di tengah-tengah Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), sebuah acara di mana Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping dijadwalkan bertemu.

Sekilas, kesepakatan ini terdengar seperti angin segar yang akan meredakan ketegangan. Namun, Vina Nadjibulla, Wakil Presiden Riset dan Strategi di Asia Pacific Foundation of Canada, memberikan perspektif yang lebih dalam. Menurutnya, meskipun tarif AS seringkali dibingkai di Tiongkok sebagai biang keladi utama perlambatan ekonominya, masalah negara Tirai Bambu ini jauh melampaui sekadar perang tarif.

Mengupas Akar Masalah Ekonomi Tiongkok: Isu Domestik Lebih Dominan

Krisis Properti dan Dampaknya

"Realitanya, perlambatan Tiongkok secara dominan didorong oleh masalah struktural domestik: kehancuran properti berkepanjangan yang menguras kekayaan dan kepercayaan rumah tangga, konsumsi yang lemah, utang pemerintah daerah, dan kehati-hatian sektor swasta setelah bertahun-tahun gejolak regulasi—masalah-masalah yang sudah ada sebelum putaran tarif terbaru," jelas Nadjibulla. Pernyataan ini menegaskan bahwa faktor internal merupakan pendorong utama lesunya perekonomian Tiongkok.

Krisis di sektor properti Tiongkok, yang diawali dengan gagal bayar beberapa pengembang besar, telah menciptakan efek domino. Banyak keluarga Tiongkok yang menginvestasikan sebagian besar kekayaannya di properti kini menghadapi ketidakpastian, bahkan kehilangan. Ini secara langsung menekan kepercayaan konsumen dan mengurangi daya beli, yang krusial bagi pertumbuhan ekonomi berbasis konsumsi.

Konsumsi Melemah dan Utang Lokal

Selain krisis properti, konsumsi rumah tangga Tiongkok juga menunjukkan tanda-tanda pelemahan yang signifikan. Faktor-faktor seperti ketidakpastian ekonomi, pendapatan yang stagnan bagi sebagian besar masyarakat, dan perubahan prioritas pengeluaran turut berkontribusi pada fenomena ini. Di sisi lain, utang pemerintah daerah Tiongkok telah menjadi beban berat. Banyak proyek infrastruktur dan pembangunan daerah dibiayai melalui pinjaman, dan kini, dengan perlambatan ekonomi, kemampuan daerah untuk melunasi utang-utang tersebut semakin dipertanyakan. Hal ini menciptakan risiko sistemik yang dapat mempengaruhi stabilitas keuangan negara secara keseluruhan.

Sektor Swasta yang Berhati-hati

Kehati-hatian sektor swasta juga menjadi sorotan. Setelah bertahun-tahun mengalami gejolak regulasi yang kadang tidak terduga, banyak perusahaan swasta menjadi lebih enggan untuk melakukan investasi besar atau ekspansi agresif. Ketidakpastian mengenai kebijakan pemerintah di masa depan menciptakan lingkungan bisnis yang kurang kondusif untuk inovasi dan pertumbuhan. Kondisi ini tentunya menghambat potensi Tiongkok untuk menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong inovasi, yang sangat penting untuk transisi menuju ekonomi yang lebih matang.

Strategi Adaptasi Tiongkok: Mengurangi Ketergantungan pada AS

Pergeseran Mitra Dagang Utama

Meskipun tarif AS tidak diragukan lagi telah mengganggu ekspor Tiongkok, negara ini telah menunjukkan adaptasi yang luar biasa. Menurut Wei Liang, seorang profesor di Middlebury Institute of International Studies, Tiongkok tidak lagi bergantung pada AS seperti dulu. Tarif tinggi telah berlaku sejak 2018, di masa jabatan pertama Trump, memberikan Tiongkok waktu untuk melakukan penyesuaian strategi.

"Hari ini, mitra dagang terbesar Tiongkok bukanlah AS, melainkan Asia Tenggara dan Uni Eropa," kata Liang. Ini adalah sebuah pergeseran signifikan yang menunjukkan keberhasilan Tiongkok dalam mendiversifikasi pasar ekspor dan sumber impornya. Bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, ini bisa menjadi peluang sekaligus tantangan. Peluang dalam bentuk peningkatan perdagangan dan investasi dari Tiongkok, namun juga tantangan dalam mengelola persaingan dan memastikan manfaatnya merata.

Dampak Terbatas Kenaikan Tarif

Dengan perubahan lanskap perdagangan ini, potensi eskalasi tarif dari 25% menjadi 100% yang sebelumnya dikhawatirkan mungkin hanya akan memiliki dampak yang terbatas. Tiongkok telah membangun jalur perdagangan baru dan memperkuat hubungannya dengan ekonomi-ekonomi lain, mengurangi sensitivitasnya terhadap tekanan dari AS. Ini menunjukkan resiliensi Tiongkok dalam menghadapi tantangan eksternal, meski tetap harus menyelesaikan pekerjaan rumah di sektor domestiknya.

Masa Depan Hubungan Dagang AS-Tiongkok: Perlukah Kepemimpinan Baru?

Meskipun Bessent berharap gencatan senjata tarif dengan Tiongkok dapat diperpanjang melampaui tenggat waktu 10 November, ketegangan antara kedua negara telah meningkat dan kemungkinan besar akan terus berlanjut. Lalu, apa yang bisa mengubah dinamika ini? "Kepemimpinan yang berbeda," tambah Liang. Pemimpin baru, baik di AS maupun di Tiongkok, "mungkin memilih strategi yang berbeda dan lebih baik dalam mengelola perbedaan bilateral mereka."

Hal ini menyoroti bahwa masalah antara AS dan Tiongkok bukan hanya tentang angka-angka ekonomi atau kebijakan perdagangan, tetapi juga tentang hubungan geopolitik dan filosofi kepemimpinan. Diperlukan visi dan pendekatan baru untuk menavigasi kompleksitas hubungan ini, yang pada gilirannya akan berdampak pada stabilitas dan prospek pertumbuhan ekonomi global, termasuk bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia yang menjadi bagian integral dari rantai pasok global.

Pada akhirnya, artikel ini menegaskan bahwa meskipun perang dagang AS-Tiongkok menarik banyak perhatian, akar masalah ekonomi Tiongkok terletak pada isu-isu struktural internal. Mengatasi tantangan ini akan menjadi kunci bagi Tiongkok untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan, terlepas dari dinamika hubungan dagangnya dengan AS.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org