AI & Robot: Merakit Furnitur Cerdas untuk Era Digital Indonesia

Robot industri yang diprogram AI merakit furnitur modular di pabrik modern, menunjukkan inovasi desain dan efisiensi produksi.
Key Points:
  • Sistem perakitan robotik berbasis AI memungkinkan pembuatan objek fisik hanya dengan deskripsi verbal.
  • Menggunakan dua model AI generatif untuk representasi 3D dan penentuan komponen secara cerdas.
  • Memungkinkan desain berulang dengan umpan balik pengguna (human-in-the-loop) untuk personalisasi.
  • Objek dirakit dari komponen prafabrikasi yang dapat dibongkar pasang, mendukung konsep ekonomi sirkular.
  • Potensi besar untuk prototipe cepat objek kompleks dan fabrikasi lokal di rumah atau industri.

Sistem desain berbantuan komputer (CAD) telah lama menjadi tulang punggung dalam merancang beragam objek fisik yang kita gunakan sehari-hari, mulai dari perkakas sederhana hingga komponen mesin yang rumit. Namun, penguasaan perangkat lunak CAD ini seringkali membutuhkan keahlian dan waktu yang tidak sedikit. Detail yang sangat tinggi pada CAD konvensional juga kadang kurang ideal untuk proses brainstorming cepat atau pembuatan prototipe kilat.

Dalam upaya untuk membuat proses desain menjadi lebih cepat dan lebih mudah diakses oleh non-ahli, para peneliti dari MIT bersama tim lainnya telah mengembangkan sebuah sistem perakitan robotik yang didorong oleh kecerdasan buatan (AI). Sistem inovatif ini memungkinkan siapa saja untuk membangun objek fisik hanya dengan mendeskripsikannya melalui kata-kata. Bayangkan betapa transformatifnya ini bagi industri kreatif dan manufaktur di Indonesia!

Revolusi Desain dengan Kecerdasan Buatan

Sistem canggih ini bekerja dengan memanfaatkan dua model AI generatif yang saling melengkapi. Pertama, sebuah model AI generatif bertugas membangun representasi 3D dari geometri objek berdasarkan perintah atau deskripsi tekstual dari pengguna. Ini adalah langkah awal yang krusial untuk 'mewujudkan' ide dalam bentuk digital.

Kemudian, model AI generatif kedua mengambil alih. Model ini menganalisis objek yang diinginkan dan menentukan di mana berbagai komponen harus ditempatkan. Penentuan ini didasarkan pada fungsi objek serta geometri keseluruhannya, memastikan setiap bagian memiliki tujuan yang jelas dan sesuai dengan desain.

Yang lebih menarik lagi, sistem ini dapat secara otomatis membangun objek tersebut dari serangkaian komponen prafabrikasi menggunakan perakitan robotik. Tidak hanya itu, sistem ini juga mampu melakukan iterasi atau revisi desain berdasarkan masukan dari pengguna, menciptakan siklus desain yang sangat responsif dan personal. Ini membuka peluang besar bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia untuk berinovasi tanpa perlu investasi besar pada mesin perkakas kompleks.

Mewujudkan Objek dari Deskripsi Verbal

Para peneliti telah berhasil menggunakan sistem ujung ke ujung ini untuk memfabrikasi furnitur, termasuk kursi dan rak, menggunakan dua jenis komponen prafabrikasi. Komponen-komponen ini dirancang agar dapat dibongkar dan dipasang kembali sesuai keinginan, sebuah fitur penting yang berkontribusi pada pengurangan jumlah limbah yang dihasilkan selama proses fabrikasi. Konsep ini sejalan dengan prinsip ekonomi sirkular yang semakin relevan di era modern.

Dalam sebuah studi pengguna, evaluasi terhadap desain-desain ini menunjukkan hasil yang sangat positif. Lebih dari 90 persen partisipan menyatakan preferensi mereka terhadap objek yang dibuat oleh sistem berbasis AI ini, dibandingkan dengan pendekatan desain lainnya. Ini adalah bukti nyata efektivitas dan kepuasan pengguna terhadap teknologi ini.

Meskipun masih dalam tahap demonstrasi awal, kerangka kerja ini memiliki potensi besar. Di masa depan, teknologi ini bisa sangat berguna untuk pembuatan prototipe cepat objek kompleks seperti komponen kedirgantaraan atau struktur arsitektur. Dalam jangka panjang, kita bisa membayangkan sistem ini digunakan di rumah-rumah untuk memfabrikasi furnitur atau objek lain secara lokal, tanpa perlu pengiriman produk besar dari fasilitas terpusat. Ini bisa mengubah cara kita memandang konsumsi dan produksi.

Alex Kyaw, penulis utama studi dan seorang mahasiswa pascasarjana di departemen Teknik Elektro dan Ilmu Komputer (EECS) serta Arsitektur MIT, mengungkapkan visinya: "Cepat atau lambat, kita ingin dapat berkomunikasi dan berbicara dengan robot serta sistem AI dengan cara yang sama seperti kita berbicara satu sama lain untuk membuat sesuatu bersama. Sistem kami adalah langkah pertama menuju masa depan tersebut." Visi ini sangat relevan dengan upaya Indonesia menuju industri 4.0, di mana kolaborasi manusia-robot menjadi kunci.

Membongkar Proses Desain Multikomponen

Meski model AI generatif sangat mahir dalam menghasilkan representasi 3D (dikenal sebagai mesh) dari perintah teks, sebagian besar belum mampu menghasilkan representasi geometri objek yang seragam dengan detail tingkat komponen. Detail ini sangat penting untuk perakitan robotik yang presisi.

Memisahkan mesh menjadi komponen-komponen yang berbeda adalah tantangan besar bagi sebuah model AI. Alasannya, penentuan komponen sangat bergantung pada geometri dan fungsionalitas objek serta bagian-bagiannya. Sebuah kursi memiliki komponen berbeda dari sebuah meja, dan AI harus memahami perbedaan fungsional ini.

Para peneliti mengatasi tantangan ini dengan menggunakan model bahasa-visi (VLM), sebuah model AI generatif yang kuat yang telah dilatih untuk memahami gambar dan teks secara bersamaan. Mereka menugaskan VLM untuk mencari tahu bagaimana dua jenis bagian prafabrikasi, yaitu komponen struktural dan komponen panel, harus disatukan untuk membentuk sebuah objek.

"Ada banyak cara kita bisa memasang panel pada objek fisik, tetapi robot perlu melihat geometri dan menalarnya untuk membuat keputusan. Dengan berfungsi sebagai mata dan otak robot, VLM memungkinkan robot melakukan hal ini," jelas Kyaw. Ini menunjukkan tingkat kecerdasan yang luar biasa dalam proses perakitan otomatis.

Pengguna memulai sistem dengan perintah teks, misalnya dengan mengetik "buatkan saya sebuah kursi", dan memberikan gambar kursi yang dihasilkan AI sebagai titik awal. Kemudian, VLM menalar tentang kursi tersebut dan menentukan di mana komponen panel harus diletakkan di atas komponen struktural. Keputusan ini dibuat berdasarkan fungsionalitas banyak contoh objek yang pernah dilihatnya. Misalnya, model dapat menentukan bahwa dudukan dan sandaran kursi harus memiliki panel sebagai permukaan untuk diduduki dan disandari.

Informasi ini kemudian dikeluarkan dalam bentuk teks, seperti "dudukan" atau "sandaran". Setiap permukaan kursi kemudian diberi label angka, dan informasi ini kembali dimasukkan ke VLM. Selanjutnya, VLM memilih label yang sesuai dengan bagian geometris kursi yang seharusnya menerima panel pada mesh 3D untuk melengkapi desain. Proses iteratif ini memastikan akurasi dan fungsionalitas.

Kolaborasi Manusia dan AI dalam Desain

Pengguna tetap terlibat dalam setiap tahapan proses ini, dapat menyempurnakan desain dengan memberikan perintah baru kepada model, seperti "hanya gunakan panel pada sandaran, bukan pada dudukan". Ini adalah esensi dari human-in-the-loop, di mana manusia berperan sebagai sutradara bagi kecerdasan buatan.

"Ruang desain sangat luas, jadi kami mempersempitnya melalui umpan balik pengguna. Kami percaya ini adalah cara terbaik karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda, dan membangun model ideal untuk semua orang akan menjadi tidak mungkin," kata Kyaw. Richa Gupta, seorang mahasiswa pascasarjana arsitektur MIT, menambahkan, "Proses human-in-the-loop memungkinkan pengguna untuk mengarahkan desain yang dihasilkan AI dan memiliki rasa kepemilikan terhadap hasil akhir." Ini adalah kunci untuk memastikan relevansi dan kepuasan pengguna.

Setelah mesh 3D selesai difinalisasi, sistem perakitan robotik kemudian membangun objek menggunakan komponen prafabrikasi. Seperti disebutkan sebelumnya, komponen-komponen yang dapat digunakan kembali ini dapat dibongkar dan dipasang kembali menjadi konfigurasi yang berbeda, mendukung praktik manufaktur yang lebih berkelanjutan.

Para peneliti membandingkan hasil metode mereka dengan algoritma yang menempatkan panel pada semua permukaan horizontal yang menghadap ke atas, dan algoritma yang menempatkan panel secara acak. Dalam studi pengguna, lebih dari 90 persen individu lebih menyukai desain yang dibuat oleh sistem mereka. Mereka juga meminta VLM menjelaskan mengapa memilih untuk menempatkan panel di area-area tersebut.

"Kami belajar bahwa model bahasa-visi mampu memahami sampai tingkat tertentu aspek fungsional sebuah kursi, seperti bersandar dan duduk, untuk memahami mengapa ia menempatkan panel pada dudukan dan sandaran. Ini tidak hanya secara acak mengeluarkan penugasan ini," kata Kyaw. Pemahaman kontekstual ini adalah lompatan besar dalam AI generatif.

Di masa depan, para peneliti berencana untuk meningkatkan sistem mereka agar dapat menangani perintah pengguna yang lebih kompleks dan bernuansa, seperti "meja terbuat dari kaca dan logam". Selain itu, mereka ingin menggabungkan komponen prafabrikasi tambahan, seperti roda gigi, engsel, atau bagian bergerak lainnya, sehingga objek dapat memiliki lebih banyak fungsionalitas. Ini akan membuka pintu bagi inovasi produk yang tak terbatas, bahkan untuk aplikasi di sektor maritim atau agrikultur di Indonesia.

"Harapan kami adalah untuk secara drastis menurunkan hambatan akses terhadap alat desain. Kami telah menunjukkan bahwa kami dapat menggunakan AI generatif dan robotik untuk mengubah ide menjadi objek fisik dengan cara yang cepat, mudah diakses, dan berkelanjutan," tutup Davis. Sebuah visi yang sangat inspiratif bagi masa depan teknologi di Indonesia dan dunia.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org