Eric Adams: Bitcoin Lawan Antisemitisme & Regulasi Kripto NYC
Mantan Wali Kota New York City, Eric Adams, tampaknya enggan menikmati masa purnatugas dengan tenang. Dalam salah satu penampilan publik terakhirnya, Adams mengungkapkan babak baru dalam hidupnya akan melibatkan penggunaan cryptocurrency sebagai alat strategis untuk memerangi antisemitisme, kekerasan, dan ketidaksetaraan pendidikan. Sebuah klaim yang mencolok dan penuh simbolisme, meskipun disampaikan tanpa detail teknis yang mendalam.
Key Points:
- Eric Adams, mantan Wali Kota New York City, berencana memanfaatkan cryptocurrency, khususnya Bitcoin, untuk memerangi antisemitisme, kekerasan, dan ketidaksetaraan pendidikan.
- Adams melihat potensi blockchain dalam menyediakan transparansi dana, pelacakan donatur, dan pembayaran yang tahan sensor untuk inisiatif sosial.
- Namun, New York memiliki salah satu regulasi cryptocurrency paling ketat di AS melalui rezim BitLicense, yang membatasi inovasi dan adopsi.
- Bitcoin dan Ethereum adalah dua aset kripto utama yang disetujui untuk kustodi institusional di New York, menunjukkan tantangan regulasi bagi aset kripto lainnya.
- Pengganti Adams, Zohran Mamdani, lebih fokus pada isu-isu ekonomi mendesak seperti biaya hidup, sehingga prioritas terhadap kripto masih menjadi tanda tanya.
“Saya ingin menggunakan cryptocurrency untuk memerangi kekerasan, mendidik anak-anak kita, dan sungguh-sungguh menangani antisemitisme yang kita saksikan secara global,” ujar Eric Adams. Pernyataan ini menegaskan komitmennya dalam isu antisemitisme, yang selama masa pemerintahannya menjadi tema sentral, mengingat komunitas Yahudi di New York seringkali menjadi target kejahatan kebencian dibandingkan kelompok lain. Menjelang serah terima jabatan kepada wali kota terpilih Zohran Mamdani pada 1 Januari, Adams memandang rencana pasca-Balai Kota-nya sebagai perpaduan antara misi moral dan inovasi teknologi.
Visi Eric Adams: Kripto sebagai Senjata Baru Melawan Ketidakadilan
Gagasan Adams untuk memanfaatkan cryptocurrency dalam memerangi masalah sosial mungkin terdengar futuristik, namun tidak sepenuhnya tanpa dasar. Di tengah era transformasi digital, teknologi blockchain yang menjadi tulang punggung cryptocurrency menawarkan sejumlah keunggulan yang berpotensi relevan untuk tujuan filantropi dan aktivisme sosial. Salah satu keunggulan utamanya adalah transparansi. Setiap transaksi yang tercatat di blockchain bersifat publik dan tidak dapat diubah, memungkinkan pelacakan dana secara akurat dari donatur hingga penerima akhir. Hal ini dapat mengurangi risiko korupsi dan memastikan bahwa sumbangan benar-benar sampai kepada yang membutuhkan.
Lebih lanjut, kemampuan blockchain untuk memfasilitasi pembayaran yang tahan sensor menjadi krusial dalam konteks bantuan kemanusiaan atau dukungan untuk komunitas yang terancam. Di wilayah di mana sistem keuangan tradisional seringkali diintervensi atau dibatasi oleh pihak berwenang, cryptocurrency dapat menyediakan jalur alternatif untuk menyalurkan bantuan secara langsung. Dalam konteks Indonesia, di mana inisiatif penggalangan dana sosial dan bantuan kemanusiaan sangat aktif, prinsip transparansi dan efisiensi ini dapat memberikan pelajaran berharga. Bayangkan potensi transparansi dana bencana alam atau beasiswa pendidikan jika memanfaatkan teknologi serupa.
Potensi Blockchain untuk Kebaikan Sosial
Secara praktis, blockchain telah digunakan untuk berbagai inisiatif sosial. Misalnya, penyediaan hibah pendidikan, kampanye advokasi lintas batas, atau penggalangan dana cepat untuk komunitas berisiko. Sifat desentralisasi dan imutabilitas (tidak dapat diubah) dari blockchain memungkinkan penciptaan sistem yang lebih adil dan akuntabel. Dana dapat diprogram untuk dilepaskan hanya jika kondisi tertentu terpenuhi, atau didistribusikan secara otomatis kepada banyak penerima dengan biaya minimal. Ini adalah revolusi dalam cara kita memandang filantropi, bergerak dari model sentralistik ke model yang lebih terdistribusi dan terbuka.
Untuk konteks Indonesia, yang kaya akan keragaman sosial dan kebutuhan akan solusi inovatif dalam mengatasi isu-isu seperti ketidaksetaraan akses pendidikan atau bantuan untuk korban kekerasan, eksplorasi potensi blockchain bisa menjadi sangat relevan. Meskipun implementasinya memerlukan pemahaman mendalam tentang ekosistem lokal dan regulasi yang ada, gagasan dasarnya tetap kuat: teknologi sebagai fasilitator perubahan sosial positif.
Realitas Regulasi Kripto: Kasus New York dan Pelajarannya bagi Dunia
Meskipun visi Eric Adams terdengar menjanjikan, realitas di lapangan, khususnya di New York, sangat menantang. New York dikenal sebagai salah satu yurisdiksi paling ketat dalam hal regulasi cryptocurrency di Amerika Serikat. Departemen Layanan Keuangan Negara Bagian New York (NYDFS) memberlakukan rezim BitLicense, yang mengharuskan setiap bisnis kripto yang berinteraksi dengan warga New York untuk memenuhi standar ketat terkait modal, Anti Pencucian Uang (AML), keamanan siber, dan pelaporan. Kerangka kerja ini telah menyebabkan banyak platform kripto besar angkat kaki dari negara bagian tersebut dan secara tajam membatasi eksperimen di luar Bitcoin dan Ethereum.
BitLicense, meskipun bertujuan melindungi konsumen dan menjaga integritas pasar, seringkali dikritik karena menghambat inovasi. Bisnis-bisnis kecil dan startup seringkali kesulitan memenuhi persyaratan yang mahal dan kompleks, yang pada akhirnya membatasi pilihan bagi pengguna dan menekan pertumbuhan ekosistem kripto lokal. Hasilnya, Bitcoin dan Ethereum tetap menjadi satu-satunya aset kripto yang secara luas disetujui untuk kustodi institusional di New York, sebuah fakta yang menyoroti betapa sulitnya navigasi regulasi di NYC.
Pengalaman New York ini menawarkan pelajaran berharga bagi negara lain, termasuk Indonesia. Di Indonesia, regulasi cryptocurrency diatur oleh Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) yang juga memiliki daftar aset kripto yang diperbolehkan untuk diperdagangkan. Menyeimbangkan kebutuhan akan perlindungan investor dengan dorongan inovasi adalah tugas yang rumit. Terlalu longgar bisa menimbulkan risiko, namun terlalu ketat bisa mematikan potensi ekonomi dan sosial yang ditawarkan oleh teknologi baru ini. Perdebatan ini terus berlangsung, baik di New York, Indonesia, maupun di seluruh dunia.
Tantangan dan Prospek Masa Depan Implementasi Kripto untuk Sosial
Cryptocurrency memang unggul dalam transparansi dan kemampuan programatisnya, namun masih berjuang dengan persepsi publik dan gesekan regulasi. Inisiatif seperti yang diusulkan Adams memerlukan penerimaan yang lebih luas dari masyarakat dan, yang terpenting, kerangka regulasi yang adaptif dan mendukung. Tanpa kejelasan regulasi, sulit bagi proyek-proyek berbasis kripto untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan skala besar.
Masa depan inisiatif Adams ini, apakah akan menjadi gerakan serius atau hanya sekadar retorika, sangat bergantung pada langkah-langkah konkret yang diambilnya sebelum penggantinya menjabat. Wali kota terpilih, Zohran Mamdani, belum mengklarifikasi posisinya terkait kripto. Prioritas utamanya adalah menangani masalah ketidaksetaraan kekayaan yang lebih mendesak seperti harga bahan pokok dan sewa yang melambung tinggi. Oleh karena itu, Bitcoin kemungkinan besar tidak akan menjadi prioritas utamanya dalam waktu dekat.
Pada akhirnya, visi Eric Adams menyoroti potensi transformatif cryptocurrency sebagai alat untuk mengatasi masalah sosial yang kompleks. Namun, realitas regulasi yang ketat dan prioritas politik yang berbeda menunjukkan bahwa jalan menuju implementasi yang efektif masih panjang dan penuh tantangan. Pertanyaannya bukan lagi apakah cryptocurrency bisa membantu, melainkan bagaimana kita bisa menciptakan lingkungan yang memungkinkan potensi tersebut terwujud, baik di New York, maupun di panggung global yang lebih luas, termasuk Indonesia.