Inovasi Penangkapan Karbon MIT: Lebih Murah, Efisien, Ramah Lingkungan

Inovasi penangkapan karbon dioksida menggunakan larutan karbonat-tris yang dikembangkan MIT, mengurangi emisi dan biaya energi.

Perubahan iklim global menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia saat ini. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2), akibat aktivitas industri dan pembakaran bahan bakar fosil, telah memicu kenaikan suhu bumi dan berbagai dampak buruk lainnya. Di tengah upaya mitigasi global, penangkapan karbon dioksida dari sumber emisi industri menjadi strategi krusial untuk mengurangi jejak karbon kita. Teknologi ini telah banyak diterapkan di berbagai sektor, mulai dari produksi petrokimia, semen, hingga pupuk.

Kabar baik datang dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Para insinyur kimia di sana telah menemukan metode sederhana namun revolusioner untuk menjadikan proses penangkapan karbon jauh lebih efisien dan ekonomis. Inovasi ini melibatkan penambahan senyawa kimia umum ke dalam larutan penangkap karbon. Terobosan ini berpotensi memangkas biaya secara signifikan dan memungkinkan teknologi beroperasi menggunakan panas limbah atau bahkan energi surya, menggantikan proses pemanasan intensif energi yang konvensional.

Key Points

  • Inovasi MIT memanfaatkan senyawa tris yang ditambahkan ke larutan kalium karbonat, berfungsi sebagai penyangga pH.
  • Sistem ini dapat menyerap CO2 tiga kali lebih banyak pada suhu rendah.
  • Proses regenerasi CO2 (pelepasan karbon yang ditangkap) kini dapat dilakukan pada suhu 60 derajat Celcius, jauh lebih rendah dari >120 C pada metode konvensional.
  • Penurunan suhu operasional memungkinkan penggunaan panas limbah industri atau energi terbarukan seperti surya.
  • Teknologi ini diklaim mudah diimplementasikan sebagai "drop-in approach" pada fasilitas industri yang ada, menawarkan efisiensi dan penghematan biaya.

Mengapa Penangkapan Karbon Itu Penting untuk Indonesia?

Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang dengan sektor industri yang terus tumbuh, memiliki peran penting dalam upaya global mengurangi emisi karbon. Industri seperti petrokimia, semen, dan pupuk di Indonesia merupakan penyumbang emisi CO2 yang signifikan. Mengimplementasikan teknologi penangkapan karbon bukan hanya menjadi tanggung jawab lingkungan, tetapi juga peluang untuk meningkatkan daya saing industri melalui praktik yang lebih berkelanjutan. Saat ini, hanya sekitar 0,1 persen dari emisi karbon global yang berhasil ditangkap dan disimpan di bawah tanah atau diubah menjadi produk lain. Angka ini menunjukkan betapa besarnya potensi yang belum termanfaatkan.

Metode penangkapan karbon yang paling umum saat ini melibatkan pengaliran gas buang melalui larutan yang mengandung senyawa kimia yang disebut amina. Larutan ini memiliki pH tinggi, memungkinkannya menyerap CO2, gas asam. Selain amina tradisional, senyawa basa seperti karbonat, yang murah dan mudah didapat, juga dapat menangkap gas CO2 asam. Namun, seiring dengan penyerapan CO2, pH larutan akan cepat turun, yang secara drastis membatasi kapasitas penyerapan CO2.

Langkah yang paling intensif energi dalam proses ini adalah regenerasi CO2. Baik larutan amina maupun karbonat harus dipanaskan hingga di atas 120 C untuk melepaskan karbon yang telah ditangkap. Tahap regenerasi ini membutuhkan energi dalam jumlah besar, menjadikannya salah satu hambatan utama dalam adopsi teknologi penangkapan karbon secara luas, terutama bagi industri di Indonesia yang perlu mempertimbangkan efisiensi biaya operasional.

Terobosan dari MIT: Solusi Karbonat-Tris yang Efisien

Untuk mengatasi keterbatasan metode yang ada, tim insinyur kimia MIT menemukan cara untuk membuat penangkapan karbon oleh karbonat jauh lebih efisien. Mereka menambahkan bahan kimia yang disebut tris — singkatan dari tris(hydroxymethyl)aminomethane — ke dalam larutan kalium karbonat. Senyawa ini, yang umumnya digunakan dalam eksperimen laboratorium dan ditemukan dalam beberapa kosmetik serta vaksin mRNA Covid-19, berfungsi sebagai penyangga pH. Penyangga pH adalah larutan yang membantu mencegah perubahan pH secara drastis.

Peran Ajaib Tris dalam Menstabilkan pH

Ketika ditambahkan ke larutan karbonat, tris yang bermuatan positif menyeimbangkan muatan negatif dari ion bikarbonat yang terbentuk saat CO2 diserap. Mekanisme ini secara efektif menstabilkan pH, memungkinkan larutan menyerap tiga kali lipat jumlah CO2 dibandingkan tanpa tris. Ini adalah peningkatan kapasitas yang luar biasa.

Keunggulan lain dari tris adalah sensitivitasnya yang tinggi terhadap perubahan suhu. Ketika larutan yang penuh CO2 ini dipanaskan sedikit saja, sekitar 60 C, tris dengan cepat melepaskan proton, menyebabkan pH turun dan CO2 yang ditangkap pun keluar sebagai gelembung. "Pada suhu kamar, larutan dapat menyerap lebih banyak CO2, dan dengan pemanasan ringan, ia dapat melepaskan CO2. Ada perubahan pH instan ketika kami memanaskan larutan sedikit," jelas Youhong (Nancy) Guo, penulis utama studi dan asisten profesor di University of North Carolina at Chapel Hill.

Pelepasan CO2 pada suhu hanya 60 C (140 derajat Fahrenheit) merupakan peningkatan dramatis dibandingkan metode konvensional yang memerlukan suhu di atas 120 C. “Ini adalah sesuatu yang dapat diimplementasikan hampir segera pada jenis peralatan yang cukup standar,” kata T. Alan Hatton, Ralph Landau Professor of Chemical Engineering Practice di MIT dan penulis senior studi tersebut. David Heldebrant, seorang profesor teknik kimia di Washington State University, turut menyoroti bahwa kalium karbonat adalah salah satu “pelarut impian” untuk penangkapan karbon karena stabilitas kimia yang tinggi, biaya rendah, dan emisi yang dapat diabaikan.

Implementasi dan Potensi Dampak di Indonesia

Untuk mendemonstrasikan pendekatan mereka, para peneliti membangun reaktor aliran kontinu untuk penangkapan karbon. Pertama, gas yang mengandung CO2 gelembungkan melalui penampungan yang berisi karbonat dan tris, yang menyerap CO2. Larutan tersebut kemudian dipompa ke modul regenerasi CO2, yang dipanaskan hingga sekitar 60 C untuk melepaskan aliran CO2 murni. Setelah CO2 dilepaskan, larutan karbonat didinginkan dan dikembalikan ke penampungan untuk putaran penyerapan dan regenerasi CO2 berikutnya.

Manfaat Ekonomi dan Lingkungan yang Signifikan

Karena sistem ini dapat beroperasi pada suhu yang relatif rendah, ada lebih banyak fleksibilitas dalam sumber energi yang dapat digunakan, seperti panel surya, listrik, atau panas limbah yang sudah dihasilkan oleh pabrik industri. Di Indonesia, di mana banyak pabrik menghasilkan panas limbah, inovasi ini bisa menjadi solusi sempurna untuk mengoptimalkan penggunaan energi dan mengurangi biaya operasional.

Mengganti larutan amina konvensional dengan larutan karbonat-tris seharusnya cukup mudah bagi fasilitas industri. “Salah satu hal menarik tentang ini adalah kesederhanaannya, dalam hal desain keseluruhan. Ini adalah pendekatan drop-in yang memungkinkan Anda dengan mudah beralih dari satu jenis larutan ke larutan lainnya,” jelas Hatton. Ini berarti pabrik-pabrik di Indonesia tidak perlu melakukan perombakan besar-besaran, yang akan sangat membantu dalam percepatan adopsi teknologi penangkapan karbon.

Karbon yang ditangkap dari pabrik industri dapat dialihkan untuk pembuatan produk lain yang berguna, meskipun sebagian besar kemungkinan akan disimpan dalam formasi geologi bawah tanah. “Anda hanya dapat menggunakan sebagian kecil dari CO2 yang ditangkap untuk memproduksi bahan kimia sebelum Anda menjenuhkan pasar,” kata Hatton, menekankan perlunya penyimpanan jangka panjang sebagai solusi utama.

Masa Depan Penangkapan Karbon Berbiaya Rendah

Penelitian yang dilakukan oleh tim MIT ini membuka babak baru dalam upaya global untuk mengatasi perubahan iklim. Dengan kemampuan untuk mengurangi biaya operasional, meningkatkan efisiensi, dan memanfaatkan sumber energi yang lebih berkelanjutan, teknologi penangkapan karbon menggunakan larutan karbonat-tris menawarkan harapan besar. Saat ini, Guo sedang menjajaki apakah aditif lain dapat membuat proses penangkapan CO2 lebih efisien dengan mempercepat laju penyerapan CO2.

Bagi Indonesia, inovasi ini bukan sekadar penemuan akademis, tetapi potensi solusi nyata untuk tantangan emisi industri. Dengan dukungan penelitian lebih lanjut dan implementasi yang tepat, penangkapan karbon berbiaya rendah dan efisien ini dapat menjadi kunci untuk mencapai target pengurangan emisi nasional dan membangun masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org