Kawa Junad: Fondasi Perbankan Digital & Tantangan di Pasar Berisiko
Key Points:
- Kawa Junad, pendiri First Iraqi Bank (FIB), sukses membangun bank digital pertama di Irak, mentransformasi ekonomi dari tunai ke digital.
- FIB telah melayani sekitar 1,2 juta pelanggan individu dan korporat, mayoritas adalah generasi muda yang akrab dengan teknologi digital.
- Regulasi perbankan digital di Irak mengalami evolusi signifikan, dari tidak ada menjadi pedoman yang lebih ketat yang mendorong kepercayaan.
- Irak menawarkan potensi perbankan digital yang besar karena demografi muda, penetrasi smartphone tinggi, dan tingkat inklusi keuangan yang rendah.
- Tantangan utama dalam membangun bank digital di pasar berisiko meliputi regulasi ketat, kebutuhan teknologi canggih, membangun kepercayaan konsumen, dan mengelola lingkungan risiko tinggi (AML/CFT).
- Kepatuhan terhadap standar anti pencucian uang dan pendanaan terorisme (AML/CFT) adalah fondasi utama FIB, didukung oleh tata kelola kuat, KYC digital yang ketat, pemantauan canggih, serta budaya dan pelatihan berkelanjutan.
- Pengalaman Irak dan visi Kawa Junad dapat menjadi pembelajaran berharga bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam upaya percepatan transformasi digital dan inklusi keuangan.
Di tengah gejolak dan peluang di Timur Tengah, muncul seorang visioner yang berhasil menarik Irak dari era transaksi tunai dan infrastruktur kabel ke masa depan digital. Dialah Kawa Junad, seorang eksekutif korporat, inovator, dan filantropis yang memimpin pembangunan kembali jaringan telekomunikasi Irak pascaperang 2003, meluncurkan jaringan 4G canggih pertama dengan Fastlink, dan kemudian mendirikan First Iraqi Bank (FIB) pada tahun 2021—bank yang sepenuhnya digital pertama di Irak. Dari konektivitas hingga keuangan lintas batas, karyanya telah menjadi katalisator bagi transformasi digital di Irak. Kisahnya menawarkan pelajaran berharga, khususnya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia yang juga tengah gencar mendorong inovasi perbankan digital dan inklusi keuangan.
Perjalanan Menuju Perbankan Digital: Dari Jaringan ke Keuangan
Kawa Junad telah mengabdikan dua dekade terakhir untuk membangun infrastruktur digital di Irak. Pengalaman ini, mulai dari meluncurkan jaringan 4G pertama hingga menciptakan rute serat optik nasional, menunjukkan kepadanya betapa transformatifnya teknologi ketika hambatan dihilangkan. Pada tahun 2016, ia meluncurkan FastPay, dompet seluler pertama di Irak, dan respons yang diterima membuktikan bahwa masyarakat Irak siap untuk layanan keuangan modern. Namun, untuk benar-benar mendorong kemajuan negara, dibutuhkan sebuah bank digital penuh yang mampu menerbitkan IBAN, mendukung pembayaran lintas batas, dan memberikan akses keuangan yang nyata bagi individu serta bisnis.
First Iraqi Bank (FIB) resmi beroperasi pada tahun 2021 dengan misi sederhana: membantu Irak beralih dari masyarakat berbasis tunai menuju ekonomi digital yang inklusif, di mana siapa pun dapat membuka rekening bank dalam hitungan menit dan berpartisipasi dalam sistem keuangan. Visi ini sangat relevan dengan kondisi di Indonesia, di mana pemerintah dan regulator terus mendorong adopsi layanan keuangan digital melalui berbagai inisiatif seperti QRIS dan platform e-wallet, demi memperluas jangkauan inklusi keuangan di seluruh pelosok negeri.
Dinamika Regulasi: Membentuk Lanskap Perbankan Digital Irak
Lanskap regulasi untuk perbankan digital di Irak telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Ketika FIB mulai dirancang, belum ada regulasi khusus untuk bank digital. Junad dan timnya bekerja sama erat dengan Bank Sentral Irak (CBI) di bawah undang-undang perbankan dan regulasi pembayaran elektronik yang ada, seringkali beroperasi selangkah lebih maju dari kurva regulasi. Dalam beberapa tahun terakhir, CBI telah memperkenalkan pedoman yang jelas untuk bank digital, mencakup persyaratan modal, keamanan siber, kepemilikan asing, dan tata kelola. Fokus yang lebih kuat kini diberikan pada Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (AML/CFT), penyaringan sanksi, dan manajemen risiko. Meskipun aturannya lebih ketat, hal ini menciptakan kejelasan dan kepercayaan, elemen esensial untuk perbankan digital di pasar yang menantang.
Pengalaman ini juga memberikan perspektif bagi Indonesia, di mana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia terus berupaya menciptakan kerangka regulasi yang adaptif untuk fintech dan perbankan digital. Keseimbangan antara mendukung inovasi dan memastikan stabilitas serta keamanan sistem keuangan menjadi kunci, dan kisah Irak menunjukkan pentingnya dialog konstruktif antara regulator dan pelaku industri.
Potensi Besar Perbankan Digital di Irak dan Pelajaran untuk Indonesia
Irak memiliki salah satu populasi termuda di kawasan ini, penetrasi smartphone yang tinggi, dan penetrasi perbankan yang sangat rendah. Kondisi ini menciptakan lingkungan yang sempurna bagi perbankan digital untuk memberikan dampak nyata. Potensi ini sudah tercermin dalam basis pelanggan FIB, dengan sekitar 1,2 juta pelanggan individu dan korporat, yang sebagian besar adalah kaum muda dan secara alami nyaman dengan teknologi digital. Peluangnya sangat besar bagi jutaan masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan untuk pertama kalinya dapat membuka rekening secara digital. Selain itu, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dapat memperoleh akses ke pembayaran modern dan alat keuangan, layanan pemerintah dan pembayaran gaji dapat didigitalkan sepenuhnya, dan pembayaran sehari-hari menjadi lebih cepat, lebih aman, dan lebih transparan.
Situasi ini sangat mirip dengan Indonesia, negara dengan populasi muda yang besar, tingkat penetrasi smartphone yang masif, dan masih banyaknya masyarakat yang unbanked atau underbanked. Dengan demikian, perbankan digital memiliki peran krusial dalam mendorong inklusi keuangan dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, sebagaimana yang ditunjukkan oleh keberhasilan FIB di Irak.
Menavigasi Tantangan: Pilar Pembangunan Bank Digital
Membangun bank digital di pasar seperti Irak bukanlah tanpa hambatan. Kawa Junad mengidentifikasi empat tantangan utama yang juga relevan untuk konteks Indonesia:
Regulasi dan Kepatuhan yang Ketat
Bank digital menghadapi persyaratan modal yang tinggi, kriteria lisensi yang ketat, dan fokus intens pada kepatuhan. Di lingkungan yang berkembang pesat, menjaga agilitas sambil memenuhi standar regulasi yang terus berubah adalah sebuah keharusan. Ini mendorong institusi keuangan untuk selalu meningkatkan standar operasional dan kepatuhan mereka.
Inovasi Teknologi dan Keamanan Siber
Membangun bank digital berarti membangun perusahaan bank dan perusahaan teknologi secara bersamaan. Hal ini menuntut sistem keamanan siber yang kuat dan ketersediaan layanan 24/7. Investasi besar dalam infrastruktur teknologi dan keahlian sumber daya manusia menjadi krusial untuk memastikan platform tetap aman dan stabil, sebuah tantangan yang juga dihadapi oleh pemain fintech di Indonesia.
Membangun Kepercayaan Konsumen di Era Digital
Irak, seperti banyak negara berkembang, masih sangat bergantung pada transaksi tunai. Meyakinkan pengguna untuk mempercayai bank digital memerlukan edukasi yang masif dan waktu. Masyarakat perlu memahami manfaat, keamanan, dan kemudahan yang ditawarkan oleh layanan digital sebelum mereka sepenuhnya beralih. Strategi edukasi dan promosi yang efektif menjadi penting untuk mengatasi skeptisisme awal.
Mengelola Lingkungan Risiko Tinggi
Berada di wilayah geopolitik yang menantang, risiko pencucian uang (AML) dan kejahatan keuangan (CFT) lebih tinggi dibandingkan di banyak pasar lain. Oleh karena itu, sistem FIB dirancang agar sangat kuat. Selain itu, pasar yang tumbuh cepat dan lingkungan regulasi yang berubah juga memaksa bank untuk tetap gesit. Integrasi regional dengan sistem keuangan internasional juga mendorong bank untuk meningkatkan standar mereka agar dapat bersaing dan beroperasi di pasar global. Indonesia, sebagai negara yang aktif di pasar global, juga memiliki tantangan serupa dalam memastikan sistem keuangannya terlindungi dari risiko tersebut.
Komitmen Tak Tergoyahkan terhadap Kepatuhan AML/CFT
Kawa Junad menegaskan bahwa First Iraqi Bank tidak pernah mengeluarkan kartu prabayar. Semua kartu yang diterbitkan oleh FIB adalah kartu debit yang terhubung dengan pelanggan yang telah diverifikasi sepenuhnya sesuai dengan standar KYC (Know Your Customer) dan praktik terbaik internasional. Dari awal, sistem FIB dibangun untuk memenuhi standar transparansi, kontrol, dan pemantauan yang lebih tinggi. Mereka terus memperkuat proses KYC, AML, dan pemantauan transaksi, menjadikan FIB sebagai patokan untuk perbankan digital yang bertanggung jawab dan patuh di Irak.
Pendekatan FIB terhadap kepatuhan AML/CFT didasarkan pada empat pilar:
- Tata Kelola yang Kuat: Kepemimpinan kepatuhan yang independen, pengawasan tingkat dewan, dan model "tiga lini pertahanan" penuh memastikan integritas dan akuntabilitas.
- KYC Digital yang Ketat: Verifikasi identitas biometrik, penyaringan sanksi dan individu yang terekspos politik (PEP), serta uji tuntas yang ditingkatkan untuk pengguna berisiko tinggi.
- Pemantauan Canggih: Pemantauan transaksi real-time, penyaringan sanksi pada semua pembayaran, dan pelaporan tepat waktu kepada regulator.
- Budaya dan Pelatihan: Pelatihan AML/TF reguler untuk semua staf serta audit internal dan eksternal independen.
Di lingkungan berisiko tinggi, kepatuhan bukanlah kewajiban, melainkan fondasi yang menjaga kelangsungan dan kepercayaan perbankan digital. Ini adalah prinsip yang harus dipegang teguh oleh semua lembaga keuangan digital, termasuk di Indonesia, untuk membangun ekosistem yang aman dan tepercaya.
Kesimpulan: Masa Depan Perbankan Digital yang Cerah
Kisah Kawa Junad dan First Iraqi Bank adalah bukti nyata bahwa inovasi keuangan digital dapat berkembang bahkan di pasar yang paling menantang sekalipun. Dengan komitmen terhadap kepatuhan, investasi dalam teknologi, dan pemahaman mendalam tentang kebutuhan pasar, bank digital dapat menjadi kekuatan pendorong untuk inklusi keuangan dan pertumbuhan ekonomi. Bagi Indonesia, pengalaman Irak menawarkan wawasan berharga tentang bagaimana menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang besar dalam era transformasi digital ini. Masa depan perbankan adalah digital, dan fondasinya adalah kepercayaan serta kepatuhan yang tak tergoyahkan.