Konteks Bahasa Penting: Memahami Makna di Balik Kata
Key Points
- Memahami konteks di balik kata-kata adalah krusial untuk komunikasi efektif sehari-hari.
- Kemampuan bahasa pragmatik mencakup interpretasi sarkasme, metafora, dan nuansa percakapan lainnya.
- Penelitian terbaru mengidentifikasi tiga klaster keterampilan pragmatik: berbasis sosial, pengetahuan dunia fisik, dan interpretasi intonasi.
- Studi menggunakan pendekatan "perbedaan individu" untuk menganalisis kemampuan pragmatik pada 800 peserta.
- Temuan ini memiliki implikasi penting untuk studi autisme, perbedaan budaya, dan pengembangan intervensi komunikasi.
- Di Indonesia, pemahaman pragmatik sangat relevan mengingat kekayaan nuansa budaya dan komunikasi tidak langsung.
Dalam setiap percakapan sehari-hari, kita seringkali dihadapkan pada situasi di mana kata-kata saja tidak cukup untuk memahami makna yang sesungguhnya. Bayangkan ketika hujan deras mengguyur, lalu seseorang berujar, “Cuaca yang indah sekali, ya!” Jika kita hanya menangkap makna literalnya, tentu kita akan kebingungan. Namun, dengan memahami konteks, kita tahu bahwa ini adalah sebuah sindiran, sebuah sarkasme yang halus. Kemampuan untuk menyimpulkan maksud tersembunyi di balik ucapan yang tidak sesuai dengan makna harfiahnya inilah yang dikenal sebagai kemampuan bahasa pragmatik.
Kemampuan pragmatik tidak hanya terbatas pada interpretasi sarkasme. Ia juga mencakup pemahaman metafora, kebohongan putih (white lies), dan berbagai nuansa percakapan lainnya yang memerlukan interpretasi lebih dalam. “Pragmatik berusaha untuk menalar mengapa seseorang mungkin mengatakan sesuatu, dan pesan apa yang ingin mereka sampaikan mengingat cara penyampaiannya yang spesifik ini,” jelas Evelina Fedorenko, seorang profesor di MIT dan anggota McGovern Institute for Brain Research.
Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Fedorenko dan rekan-rekannya telah mengungkap bahwa kemampuan-kemampuan pragmatik ini dapat dikelompokkan berdasarkan jenis inferensi yang dibutuhkan. Dalam studi yang melibatkan 800 orang, para peneliti berhasil mengidentifikasi tiga klaster keterampilan pragmatik yang didasarkan pada jenis inferensi yang serupa dan mungkin memiliki proses saraf yang mendasari yang sama.
Salah satu klaster melibatkan inferensi yang didasarkan pada pengetahuan kita tentang konvensi dan aturan sosial. Klaster kedua bergantung pada pemahaman kita tentang bagaimana dunia fisik bekerja, sementara klaster terakhir memerlukan kemampuan untuk menafsirkan perbedaan dalam intonasi, yang dapat mengindikasikan penekanan atau emosi. Penelitian ini dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, dengan Fedorenko dan Edward Gibson, juga seorang profesor di MIT, sebagai penulis senior.
Pentingnya Konteks dalam Komunikasi Sehari-hari
Sebagian besar penelitian sebelumnya tentang bagaimana manusia memahami bahasa seringkali berfokus pada pemrosesan makna literal kata-kata dan bagaimana kata-kata tersebut saling terhubung. Namun, untuk benar-benar memahami apa yang seseorang katakan, kita perlu menafsirkan makna-makna tersebut berdasarkan konteksnya.
“Bahasa adalah tentang menyampaikan makna, dan itu seringkali memerlukan pertimbangan berbagai jenis informasi — seperti konteks sosial, konteks visual, atau topik percakapan saat ini,” kata Fedorenko. Sebagai contoh, frasa “orang-orang mulai pulang” dapat memiliki arti yang berbeda tergantung pada konteksnya. Gibson mencontohkan, jika sudah larut malam dan seseorang bertanya bagaimana pesta berlangsung, kita mungkin mengatakan “orang-orang mulai pulang” untuk menyampaikan bahwa pesta akan segera berakhir. “Namun, jika masih awal, dan saya mengatakan ‘orang-orang mulai pulang,’ maka implikasinya adalah pesta itu tidak terlalu menyenangkan,” jelas Gibson. “Ketika Anda mengucapkan sebuah kalimat, ada makna literalnya, tetapi bagaimana Anda menafsirkan makna literal itu bergantung pada konteks.”
Memahami Kemampuan Bahasa Pragmatik
Sekitar 10 tahun yang lalu, dengan dukungan dari Simons Center for the Social Brain di MIT, Fedorenko dan Gibson memutuskan untuk menjelajahi apakah mungkin untuk secara tepat membedakan jenis pemrosesan yang terlibat dalam keterampilan bahasa pragmatik. Salah satu cara yang dapat digunakan oleh para neuroilmuwan untuk mendekati pertanyaan semacam ini adalah dengan menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) untuk memindai otak peserta saat mereka melakukan tugas-tugas yang berbeda. Ini memungkinkan mereka untuk mengaitkan aktivitas otak di lokasi yang berbeda dengan fungsi yang berbeda. Namun, tugas-tugas yang dirancang oleh para peneliti untuk studi ini tidak mudah dilakukan dalam pemindai, sehingga mereka mengambil pendekatan alternatif.
Pendekatan ini, yang dikenal sebagai “perbedaan individu,” melibatkan studi terhadap sejumlah besar orang saat mereka melakukan berbagai tugas. Teknik ini memungkinkan para peneliti untuk menentukan apakah proses otak yang mendasari yang sama mungkin bertanggung jawab atas kinerja pada tugas-tugas yang berbeda. Untuk melakukan ini, para peneliti mengevaluasi apakah setiap peserta cenderung berkinerja serupa pada kelompok tugas tertentu. Misalnya, beberapa orang mungkin berkinerja baik pada tugas-tugas yang memerlukan pemahaman konvensi sosial, seperti menafsirkan permintaan tidak langsung dan ironi. Orang yang sama mungkin hanya biasa-biasa saja pada tugas-tugas yang memerlukan pemahaman bagaimana dunia fisik bekerja, dan buruk pada tugas-tugas yang memerlukan pembedaan makna berdasarkan perubahan intonasi — melodi ucapan. Ini akan menunjukkan bahwa proses otak yang terpisah direkrut untuk setiap set tugas.
Tiga Klaster Keterampilan Pragmatik
Fase pertama studi ini dipimpin oleh Jouravlev, yang mengumpulkan tugas-tugas yang ada yang memerlukan keterampilan pragmatik dan menciptakan lebih banyak lagi, dengan total 20 tugas. Ini termasuk tugas-tugas yang memerlukan orang untuk memahami humor dan sarkasme, serta tugas-tugas di mana perubahan intonasi dapat memengaruhi makna kalimat. Misalnya, seseorang yang mengatakan “Saya ingin kaos kaki biru dan hitam,” dengan penekanan pada kata “hitam,” menyiratkan bahwa kaos kaki hitam tersebut terlupakan.
“Orang-orang benar-benar menemukan cara untuk berkomunikasi secara kreatif, tidak langsung, dan non-literal, dan serangkaian tugas ini menangkap hal itu,” kata Floyd. Para peneliti merekrut peserta studi dari platform crowdsourcing online untuk melakukan tugas-tugas tersebut, yang membutuhkan waktu sekitar delapan jam untuk diselesaikan. Dari set pertama 400 peserta ini, para peneliti menemukan bahwa tugas-tugas tersebut membentuk tiga klaster, yang terkait dengan konteks sosial, pengetahuan umum tentang dunia, dan intonasi. Untuk menguji kekokohan temuan, para peneliti melanjutkan studi dengan set lain dari 400 peserta, dengan separuh kedua ini dijalankan oleh Floyd setelah Jouravlev meninggalkan MIT.
Komponen Kemampuan Pragmatik: Hasil Studi
Dengan set peserta kedua, para peneliti menemukan bahwa tugas-tugas tersebut mengelompok menjadi tiga kelompok yang sama. Mereka juga mengkonfirmasi bahwa perbedaan dalam kecerdasan umum, atau dalam kemampuan pemrosesan auditori (yang penting untuk pemrosesan intonasi), tidak memengaruhi hasil yang mereka amati. Hal ini semakin memperkuat hipotesis bahwa ketiga klaster keterampilan pragmatik ini memiliki dasar kognitif yang berbeda dan dapat diidentifikasi secara konsisten.
Implikasi dan Arah Penelitian Masa Depan
Dalam pekerjaan selanjutnya, para peneliti berharap untuk menggunakan pencitraan otak untuk mengeksplorasi apakah komponen pragmatik yang mereka identifikasi berkorelasi dengan aktivitas di berbagai wilayah otak. Pekerjaan sebelumnya telah menemukan bahwa pencitraan otak seringkali mencerminkan perbedaan yang diidentifikasi dalam studi perbedaan individu, tetapi juga dapat membantu mengaitkan kemampuan yang relevan dengan sistem saraf tertentu, seperti sistem bahasa inti atau sistem teori pikiran.
Kumpulan tes ini juga dapat digunakan untuk mempelajari individu dengan autisme, yang terkadang mengalami kesulitan memahami isyarat sosial tertentu. Studi semacam itu dapat menentukan secara lebih tepat sifat dan tingkat kesulitan ini. Kemampuan untuk mengidentifikasi area spesifik dari kesulitan pragmatik dapat membuka jalan bagi intervensi yang lebih bertarget dan efektif. Kemungkinan lain adalah mempelajari orang-orang yang dibesarkan dalam budaya yang berbeda, yang mungkin memiliki norma yang berbeda seputar berbicara secara langsung atau tidak langsung. “Dalam bahasa Rusia, yang merupakan bahasa ibu saya, orang-orang lebih lugas. Jadi mungkin ada beberapa perbedaan dalam bagaimana penutur asli bahasa Rusia memproses permintaan tidak langsung dibandingkan dengan penutur bahasa Inggris,” kata Jouravlev. Hal ini menunjukkan bahwa aspek budaya sangat berperan dalam membentuk kemampuan pragmatik seseorang.
Relevansi di Indonesia
Penelitian tentang kemampuan bahasa pragmatik ini memiliki relevansi yang signifikan dengan konteks komunikasi di Indonesia. Masyarakat Indonesia dikenal memiliki budaya yang kaya akan nuansa dan seringkali mengedepankan komunikasi tidak langsung, terutama dalam situasi formal atau untuk menjaga harmoni sosial. Misalnya, dalam meminta sesuatu, alih-alih mengatakan "Berikan saya air," seseorang mungkin lebih sering menggunakan frasa seperti "Bisakah saya minta tolong diambilkan air?" atau bahkan sekadar mengisyaratkan dengan pandangan mata. Memahami intonasi, ekspresi wajah, dan konteks sosial menjadi sangat krusial agar pesan dapat tersampaikan dengan tepat dan tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Studi ini memberikan wawasan berharga tentang bagaimana individu di Indonesia, dengan latar belakang budaya yang beragam dan bahasa daerah yang berbeda-beda, memproses informasi pragmatik. Mengidentifikasi klaster-klaster kemampuan pragmatik dapat membantu dalam pengembangan kurikulum bahasa yang lebih efektif, baik untuk penutur asli maupun pembelajar bahasa Indonesia. Selain itu, pemahaman ini juga penting dalam konteks profesional, di mana komunikasi yang efektif dan nuansa bahasa dapat sangat memengaruhi kesuksesan negosiasi atau kolaborasi. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya memperkaya ilmu pengetahuan tentang bahasa dan kognisi, tetapi juga menawarkan aplikasi praktis untuk meningkatkan kualitas komunikasi di Indonesia.
Penelitian ini didanai oleh Simons Center for the Social Brain di MIT, National Institutes of Health, dan National Science Foundation.