Otak & Imun: Mengapa Kita Menarik Diri Saat Sakit?
Key Points:
- Saat tubuh terinfeksi, sistem kekebalan dan otak berkolaborasi aktif mendorong penarikan diri dari lingkungan sosial.
- Sitokin interleukin-1 beta (IL-1β) teridentifikasi sebagai molekul pemicu utama perilaku isolasi sosial ini.
- IL-1β berinteraksi dengan reseptor IL-1R1 pada neuron di wilayah otak yang disebut nucleus raphe dorsal (DRN).
- Aktivasi neuron di DRN ini membentuk sirkuit saraf dengan intermediate lateral septum yang spesifik memicu perilaku menarik diri secara sosial.
- Penelitian menunjukkan bahwa isolasi sosial ini adalah respons aktif dan terpisah, bukan sekadar efek samping dari rasa lesu atau gejala sakit fisik lainnya.
Pernahkah Anda merasa begitu lelah dan enggan bertemu siapa pun saat sedang sakit? Kalimat "Maaf, aku tidak bisa datang malam ini, bersenang-senanglah tanpaku," mungkin sering terucap. Fenomena ini, di mana individu cenderung mengisolasi diri saat terinfeksi, ternyata bukan hanya kebetulan belaka. Ini adalah respons biologis yang sangat fundamental, teramati di berbagai spesies hewan, dan memiliki tujuan ganda: melindungi orang lain dari penularan serta memberikan kesempatan bagi tubuh untuk beristirahat dan memulihkan diri. Namun, bagaimana sebenarnya mekanisme di balik perubahan perilaku ini terjadi? Sebuah studi terbaru telah berhasil menguak detail menarik tentang bagaimana sistem kekebalan tubuh dan sistem saraf pusat berkolaborasi untuk memicu "perilaku sakit" ini.
Menguak Jaringan Kompleks Otak dan Kekebalan Tubuh
Selama ini, hubungan antara infeksi dan perubahan perilaku sosial memang sudah sering diamati. Namun, detail tentang bagaimana interaksi ini diimplementasikan di tingkat seluler dan sirkuit saraf masih menjadi misteri. Penelitian yang dipublikasikan pada 25 November di jurnal prestisius Cell, oleh para ilmuwan dari Picower Institute for Learning and Memory di MIT bersama rekan-rekannya, memberikan gambaran yang lebih jelas. Mereka secara kausal menunjukkan bahwa ketika sitokin interleukin-1 beta (IL-1β) dari sistem kekebalan mencapai reseptor IL-1R1 pada neuron di wilayah otak yang dikenal sebagai nucleus raphe dorsal (DRN), hal itu akan mengaktifkan koneksi dengan intermediate lateral septum dan secara spesifik mematikan dorongan untuk bersosialisasi.
Penemuan ini sangat signifikan karena menegaskan bahwa isolasi sosial saat sakit bukanlah sekadar "efek samping" dari lesu atau kelelahan. "Temuan kami menunjukkan bahwa isolasi sosial setelah tantangan kekebalan tubuh adalah perilaku yang disengaja dan didorong oleh proses saraf aktif, bukan konsekuensi sekunder dari gejala fisiologis penyakit, seperti kelesuan," jelas Gloria Choi, salah satu penulis senior studi ini dan profesor di Departemen Ilmu Otak dan Kognitif MIT.
Peran Vital Sitokin Interleukin-1 Beta (IL-1β)
Kolaborasi panjang antara Prof. Choi dan Prof. Jun Huh dari Harvard Medical School sebelumnya telah mengidentifikasi sitokin lain yang memengaruhi perilaku sosial dengan berikatan pada reseptornya di otak. Berangkat dari sini, tim peneliti menduga bahwa dinamika serupa mungkin menjadi penyebab penarikan diri sosial selama infeksi. Namun, pertanyaan utamanya adalah: sitokin mana yang berperan, dan sirkuit otak mana yang terdampak?
Untuk menjawabnya, Liu Yang, ilmuwan peneliti di laboratorium Choi dan penulis utama makalah, beserta rekan-rekannya melakukan serangkaian eksperimen. Mereka menyuntikkan 21 jenis sitokin berbeda ke otak tikus, satu per satu, untuk mengamati apakah ada yang memicu penarikan diri sosial seperti yang terjadi saat tikus diberi LPS (lipopolisakarida)—sebuah metode standar untuk mensimulasikan infeksi. Hasilnya mengejutkan: hanya suntikan IL-1β yang sepenuhnya mereplikasi perilaku penarikan diri sosial yang sama seperti LPS. Menariknya, IL-1β juga membuat tikus lebih lesu, namun ini menunjukkan bahwa mekanisme penarikan diri sosial mungkin terpisah.
Respon Otak: Nucleus Raphe Dorsal (DRN) Sebagai Pusat Kendali
IL-1β memengaruhi sel-sel ketika berikatan dengan reseptornya, yaitu IL-1R1. Oleh karena itu, tim peneliti selanjutnya mencari di seluruh otak di mana reseptor ini diekspresikan. Mereka mengidentifikasi beberapa wilayah dan memeriksa neuron-neuron individual di masing-masing area. Nucleus Raphe Dorsal (DRN) menjadi sangat menonjol di antara wilayah-wilayah lain. Wilayah ini dikenal memodulasi perilaku sosial dan terletak di dekat akuaduk serebral, yang memungkinkannya terpapar sitokin yang masuk dalam cairan serebrospinal.
Eksperimen lebih lanjut mengidentifikasi populasi neuron DRN yang mengekspresikan IL-1R1, termasuk banyak di antaranya yang terlibat dalam produksi serotonin, bahan kimia neuromodulator yang sangat penting. Dari sana, Yang dan timnya menunjukkan bahwa IL-1β mengaktifkan neuron-neuron tersebut, dan aktivasi neuron inilah yang mendorong penarikan diri sosial. Terlebih lagi, mereka menunjukkan bahwa menghambat aktivitas saraf tersebut mencegah penarikan diri sosial pada tikus yang diobati dengan IL-1β. Demikian pula, mematikan IL-1R1 di neuron DRN juga mencegah perilaku penarikan diri sosial setelah suntikan IL-1β atau paparan LPS. Yang penting, eksperimen-eksperimen ini tidak mengubah rasa lesu yang mengikuti pemberian IL-1β atau LPS, membantu menunjukkan bahwa penarikan diri sosial dan kelesuan terjadi melalui mekanisme yang berbeda. "Temuan kami mengimplikasikan IL-1β sebagai efektor utama yang mendorong penarikan diri sosial selama aktivasi kekebalan sistemik," tulis para peneliti dalam Cell.
Membongkar Sirkuit Saraf Pemicu Isolasi Sosial
Setelah DRN teridentifikasi sebagai lokasi di mana neuron yang menerima IL-1β mendorong penarikan diri sosial, pertanyaan berikutnya adalah melalui sirkuit apa perilaku tersebut diwujudkan. Tim peneliti melacak ke mana proyeksi sirkuit neuron-neuron tersebut menuju dan menemukan beberapa wilayah yang diketahui memiliki peran dalam perilaku sosial. Menggunakan optogenetika, sebuah teknologi canggih yang merekayasa sel untuk dapat dikendalikan dengan kilatan cahaya, para ilmuwan mampu mengaktifkan koneksi neuron DRN dengan masing-masing wilayah hilir. Hasilnya spesifik: hanya aktivasi koneksi DRN dengan intermediate lateral septum yang menyebabkan perilaku penarikan diri sosial yang diamati pada suntikan IL-1β atau paparan LPS.
Dalam uji terakhir, mereka mereplikasi hasil penelitian mereka dengan mengekspos beberapa tikus pada bakteri Salmonella, yang juga menghasilkan respons serupa. "Secara kolektif, hasil-hasil ini mengungkap peran neuron DRN yang mengekspresikan IL-1R1 dalam memediasi penarikan diri sosial sebagai respons terhadap IL-1β selama tantangan kekebalan sistemik," tulis para peneliti. Meskipun studi ini mengungkap sitokin, neuron, dan sirkuit yang bertanggung jawab atas penarikan diri sosial pada tikus secara rinci dan dengan demonstrasi kausalitas, hasilnya masih menginspirasi pertanyaan-pertanyaan baru. Salah satunya adalah apakah neuron IL-1R1 memengaruhi perilaku sakit lainnya. Pertanyaan lain adalah apakah serotonin memiliki peran dalam penarikan diri sosial atau perilaku sakit lainnya.
Penelitian ini, yang melibatkan para peneliti seperti Matias Andina, Mario Witkowski, Hunter King, dan Ian Wickersham selain Yang, Choi, dan Huh, didanai oleh berbagai institusi, termasuk National Institute of Mental Health dan Simons Center for the Social Brain. Temuan ini tidak hanya memperkaya pemahaman kita tentang neuroimunologi, tetapi juga membuka jalan bagi penelitian lebih lanjut tentang bagaimana tubuh dan pikiran kita berinteraksi secara kompleks, khususnya dalam konteks penyakit. Dengan pemahaman yang lebih dalam, bukan tidak mungkin di masa depan kita dapat mengembangkan strategi yang lebih baik untuk mendukung proses pemulihan, atau bahkan mengurangi dampak negatif isolasi sosial pada pasien.