Terobosan Imunoterapi Glioblastoma: MIT Temukan Target Baru
Glioblastoma: Tantangan Serius Kanker Otak Dewasa
Key Points:
- Glioblastoma adalah jenis kanker otak paling agresif dengan tingkat kelangsungan hidup yang sangat rendah.
- Imunoterapi checkpoint inhibitor yang efektif untuk jenis kanker lain, seringkali gagal pada glioblastoma karena peran makrofag yang melindungi tumor.
- Peneliti MIT menemukan bahwa makrofag dan sel glioblastoma "berevolusi" bersama, mengubah profil antigen permukaan mereka.
- Dengan memetakan perubahan imunopeptidom sel, tim mengidentifikasi 33 protein sumber antigen pada makrofag dan lebih dari 40 antigen terkait Rho GTPase pada sel glioblastoma sebagai target terapi baru.
- Terapi berbasis mRNA yang menargetkan antigen-antigen ini menunjukkan hasil positif dalam uji pra-klinis, memperlambat pertumbuhan tumor dan bahkan membasmi beberapa kasus.
- Pendekatan ini membuka jalan bagi strategi imunoterapi kombinasi yang lebih efektif untuk glioblastoma, termasuk potensi manfaat bagi pasien di Indonesia.
Glioblastoma, atau sering disebut GBM, merupakan bentuk kanker otak yang paling umum dan mematikan pada orang dewasa. Di Indonesia, seperti halnya di seluruh dunia, diagnosis glioblastoma seringkali membawa prognosis yang suram. Setelah menjalani perawatan standar seperti operasi, radiasi, dan kemoterapi, kurang dari separuh pasien dapat bertahan hidup lebih dari 15 bulan, dan hanya sekitar lima persen yang mampu bertahan hingga lima tahun. Angka-angka ini menunjukkan betapa besar kebutuhan akan terobosan dalam pengobatan kanker yang satu ini.
Dalam upaya meningkatkan angka harapan hidup pasien, banyak peneliti telah mengarahkan perhatian pada imunoterapi, khususnya jenis immune checkpoint inhibitor. Terapi ini bekerja dengan "mematikan" sakelar molekuler yang menghalangi sel T sistem kekebalan tubuh untuk menyerang sel kanker. Dengan demikian, sistem imun pasien dapat kembali aktif dan membersihkan tumor. Meskipun terbukti sangat efektif untuk berbagai jenis kanker lain, sayangnya, glioblastoma memiliki resistensi yang tidak biasa terhadap serangan sel T, membuat imunoterapi checkpoint inhibitor kurang optimal.
Mengapa Imunoterapi Konvensional Gagal pada Glioblastoma?
Penyebab utama kegagalan imunoterapi standar pada glioblastoma adalah peran sel imun lain, yaitu makrofag. Sel-sel makrofag ini direkrut ke dalam tumor, di mana mereka justru mendukung pertumbuhan tumor dan sekaligus menekan kemampuan sel T untuk menyusup dan menyerang sel kanker. Fenomena ini menciptakan lingkungan mikro tumor yang sangat imunosupresif, menjadikannya benteng yang sulit ditembus oleh pertahanan alami tubuh.
Meskipun strategi menargetkan makrofag yang terkait dengan tumor (TAMs) telah menunjukkan potensi dalam model laboratorium, keberhasilan ini belum sepenuhnya tereplikasi pada studi pasien manusia. Hal ini menggarisbawahi perlunya identifikasi target-target baru yang lebih akurat, yang berasal dari model yang mampu mereproduksi interaksi seluler dalam tumor pasien dengan lebih baik.
Pendekatan Inovatif Tim Peneliti MIT
Sebuah tim peneliti yang dipimpin oleh Forest White di MIT Koch Institute for Integrative Cancer Research menggunakan metode profil imun yang canggih untuk memetakan bagaimana makrofag berevolusi. Dari awalnya sebagai garda terdepan pertahanan tubuh melawan kanker dan patogen lain, makrofag berubah menjadi "perisai" yang melindungi tumor glioblastoma. Lebih menariknya lagi, penelitian ini juga mengamati bagaimana sel tumor itu sendiri ikut bertransformasi akibat interaksi ini.
White menekankan pentingnya melihat ko-evolusi kedua jenis sel ini. "Ini seperti apa yang terjadi ketika sebuah keluarga baru pindah ke lingkungan: kehidupan anggota keluarga berubah, tetapi dinamika sosial orang-orang di sekitar mereka juga ikut berubah," jelas White. "Baik itu mencampur orang atau sel, Anda tidak akan bisa memprediksi bagaimana mereka akan berinteraksi, bahkan jika Anda mengenal keduanya dengan baik."
Yufei Cui, seorang kandidat PhD di White Laboratory, menambahkan, "Dengan melihat apa yang terjadi ketika makrofag masuk ke dalam tumor, kita dapat mengamati perubahan pada kedua jenis sel yang tidak akan terlihat jika diamati secara terpisah. Kami berhasil mengidentifikasi target baru untuk glioblastoma dan makrofag yang dapat digunakan untuk mengembangkan terapi yang, jika diberikan dalam kombinasi dengan immune checkpoint inhibitor, dapat mengobati glioblastoma dengan lebih efektif."
Peran Makrofag dalam Lingkungan Tumor
Dalam penelitian ini, para ilmuwan menggunakan pendekatan unik: memprofilkan imunopeptidom sel. Imunopeptidom adalah kumpulan antigen yang disajikan pada permukaan sel kanker, makrofag, dan berbagai jenis sel lainnya. Antigen yang disajikan di permukaan ini berfungsi sebagai "jendela" yang menunjukkan kondisi internal sel. Antigen berasal dari protein yang dihasilkan sel saat menjalankan berbagai fungsi dan merespons lingkungannya. Dengan mengikat antigen permukaan, sel T dan sel imun lainnya dapat memantau sel untuk mencari disfungsi dan meresponsnya.
Lab White mengembangkan metode canggih untuk profil imunopeptidom, menggabungkan teknik seperti kromatografi cair dan spektrometri massa. Mereka mengisolasi antigen permukaan sel—dalam kasus ini, dari sel glioblastoma dan makrofag yang dibiakkan secara terpisah dan bersama-sama—kemudian mengukur perubahan ekspresi dari waktu ke waktu. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi lebih dari 800 peptida pada makrofag yang mengalami peningkatan atau penurunan ekspresi saat dibiakkan bersama sel glioblastoma.
Transformasi Sel Glioblastoma Akibat Interaksi
Interaksi dengan makrofag tidak hanya mengubah makrofag itu sendiri, tetapi juga antigen yang disajikan pada permukaan sel glioblastoma. Antigen-antigen ini dikaitkan dengan Rho GTPase, protein sinyal yang termasuk dalam kelas protein Ras. Mutasi pada protein Ras ditemukan dalam 30 persen dari semua jenis kanker. Perubahan ekspresi Rho GTPase diketahui membuat sel lebih rentan mengembangkan ciri khas kanker, seperti umur sel yang panjang, pertumbuhan abnormal, dan metastasis.
Profil antigen dari sel glioblastoma yang dibiakkan bersama makrofag menunjukkan lebih dari 40 antigen terkait Rho GTPase dengan peningkatan ekspresi dibandingkan dengan sel tumor yang dibiakkan secara terpisah. Temuan ini sangat krusial karena menunjukkan bagaimana lingkungan mikro tumor memengaruhi glioblastoma, membuatnya lebih agresif dan resisten terhadap terapi.
Identifikasi Target Imunoterapeutik Baru
Melalui analisis mendalam, tim peneliti mengidentifikasi peptida dengan peningkatan ekspresi terbesar di bawah ko-kultivasi berasal dari 33 protein sumber. Protein-protein ini sebagian besar terkait dengan pensinyalan sitokin yang mempromosikan agresi tumor dan menekan respons imun terhadap tumor. Identifikasi ini memberikan target potensial untuk menghambat makrofag yang pro-tumor.
Para peneliti juga membandingkan perubahan ekspresi antigen pada sel makrofag dan glioblastoma yang dikultur bersama dengan profil imunopeptidom dari model tikus dan sampel tumor manusia. Hasilnya menunjukkan bahwa pola yang diamati dalam kultur sel dapat diterjemahkan ke model hewan dan, berpotensi, ke pasien manusia. Ini adalah langkah penting untuk validasi translasi penelitian dari laboratorium ke aplikasi klinis.
Potensi Terapi Kombinasi dan Hasil Uji Pra-Klinis
Berdasarkan temuan ini, para peneliti memilih enam antigen yang menunjukkan peningkatan ekspresi pada sel glioblastoma atau makrofag untuk diuji sebagai target terapi. Mereka mengembangkan terapi imunostimulatori berbasis mRNA untuk setiap antigen ini. Setelah mengobati tikus dengan glioblastoma, tumor menunjukkan pertumbuhan yang melambat secara signifikan, dan dalam beberapa kasus, bahkan berhasil diberantas sepenuhnya. Hasil ini sangat menjanjikan dan membuka jalan bagi pengembangan terapi glioblastoma yang lebih efektif.
Ke depannya, tim berencana untuk menggunakan teknik profil imunopeptidom mereka untuk mengkarakterisasi sel dendritik yang dikultur bersama. Sel dendritik berfungsi mengambil protein dari sel kanker dan menyajikannya kepada sel T sebagai antigen, sehingga memiliki peran krusial dalam respons imun. Selain itu, mereka juga akan lebih jauh mengeksplorasi presentasi antigen sel dalam model glioblastoma hidup, yang akan memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai kompleksitas interaksi di lingkungan tumor.
Masa Depan Penelitian dan Harapan untuk Pasien di Indonesia
"Studi ini menunjukkan janji besar dari profil antigen permukaan sel," kata Cui. "Dengan akurasi kuantitatif dan resolusi jenis sel, pendekatan kami dapat digunakan untuk merancang imunoterapi yang ditingkatkan terhadap banyak jenis kanker dan penyakit lainnya." Penemuan ini tidak hanya relevan secara global tetapi juga membawa harapan besar bagi pasien glioblastoma di Indonesia. Dengan adanya target terapi baru yang spesifik, pengembangan pengobatan yang lebih personal dan efektif dapat menjadi kenyataan di masa depan. Kolaborasi internasional dan adaptasi teknologi semacam ini di Indonesia dapat mempercepat akses terhadap inovasi medis terkini dan meningkatkan kualitas hidup pasien kanker otak di tanah air.
Pencarian terus-menerus terhadap metode pengobatan yang lebih baik untuk glioblastoma adalah esensial, dan penelitian dari MIT ini merupakan langkah maju yang signifikan. Dengan fokus pada interaksi kompleks antara sel kanker dan sistem kekebalan tubuh, kita semakin dekat untuk memahami dan akhirnya mengalahkan salah satu musuh paling mematikan dalam dunia medis.