Volatilitas Kripto: Liquidasi Bitcoin & Prediksi Michael Burry
Pasar kripto kembali menunjukkan volatilitas tinggi, memicu kekhawatiran di kalangan investor. Penurunan harga dan gelombang likuidasi yang terjadi menjadi sorotan utama, terutama dengan munculnya kembali komentar skeptis dari investor kawakan Michael Burry mengenai Bitcoin. Fenomena ini menarik perhatian, mengingat pasar tradisional justru menunjukkan performa positif.
Key Points:
- Pasar kripto mengalami penurunan signifikan disertai likuidasi besar, kontras dengan kenaikan pasar tradisional.
- Bitcoin jatuh mendekati level $89.000, dengan total likuidasi sesi ini mencapai lebih dari $414 juta.
- Michael Burry, investor terkenal, kembali menyuarakan skeptisisme terhadap Bitcoin, membandingkannya dengan "tulip bulb" dan memprediksi krisis pasar yang lebih besar.
- Terlepas dari sentimen negatif, total kapitalisasi pasar kripto masih bertahan di sekitar $3,1 triliun, menunjukkan potensi pemulihan.
- Model siklus sejarah (Benner 1875) menyiratkan bahwa periode ketakutan saat ini bisa menjadi peluang akumulasi, dengan puncak pasar diproyeksikan pada tahun 2026.
Volatilitas Pasar Kripto: Antara Koreksi dan Likuidasi Besar
Saat ini, pasar kripto global kembali bergejolak, ditandai dengan penurunan harga pada aset-aset utama. Bitcoin, sebagai aset kripto terbesar, mengalami koreksi yang cukup signifikan, sementara altcoin lainnya juga tertekan. Kondisi ini diperparah dengan lonjakan angka likuidasi, sebuah fenomena di mana posisi trading dengan leverage ditutup paksa oleh bursa karena margin tidak mencukupi. Likuidasi massal ini seringkali menciptakan efek domino, mempercepat penurunan harga dan menambah tekanan jual di pasar.
Peristiwa likuidasi bukanlah hal baru dalam siklus pasar kripto yang dikenal fluktuatif. Namun, gelombang likuidasi kali ini terasa berbeda karena terjadi di tengah kondisi pasar finansial tradisional yang relatif stabil atau bahkan cenderung positif. Nasdaq, S&P 500, dan harga perak menunjukkan kenaikan, sementara pasar kripto bergerak ke arah sebaliknya. Bitcoin, misalnya, sempat kehilangan 3% dari nilainya dalam satu hari perdagangan. Kontradiksi ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan investor mengenai penyebab fundamental di balik penurunan pasar kripto, dan apakah ada faktor internal yang mendorong aset digital ini ke bawah.
Fenomena Likuidasi di Tengah Pasar Tradisional yang Stabil
Keanehan dari gelombang likuidasi ini terletak pada disonansi yang tajam antara performa aset kripto dan pasar tradisional. Di Indonesia, misalnya, sentimen investasi di pasar saham atau komoditas mungkin tetap positif, namun investor kripto harus menghadapi kenyataan pahit. Lonjakan likuidasi yang terjadi, terutama pada posisi long (beli), menciptakan "cascade effect" yang mengingatkan pada gejolak pasar kripto sebelumnya. Bitcoin sempat tergelincir mendekati area $89.000, menjauhi level tertinggi Oktober, dan memicu kekhawatiran akan stabilitas harga.
Sebelumnya di hari yang sama, data inflasi yang lebih rendah dari perkiraan (PCE data) sempat memicu lonjakan harga BTC dan ETH. Namun, momentum positif ini menguap dengan cepat. Dalam waktu kurang dari 30 menit, hampir $100 juta posisi long lenyap akibat likuidasi. Total likuidasi pada sesi ini sendiri telah melampaui $414 juta. Peristiwa ini menunjukkan betapa rentannya pasar kripto terhadap perubahan sentimen yang tiba-tiba dan bagaimana leverage dapat memperbesar dampak pergerakan harga kecil.
Jika melihat kembali insiden 'flash crash' pada 10 Oktober yang melikuidasi $19 miliar saat Bitcoin anjlok dari $126.000 ke $110.000, skala likuidasi saat ini menjadi lebih jelas. Sejak kejadian nahas tersebut, gelombang penjualan lanjutan telah menghapus lebih dari $637 juta posisi tambahan. Meskipun demikian, total kapitalisasi pasar kripto masih bertahan di kisaran $3,1 triliun, setelah sempat rebound dari level kritis $2,9 triliun. Level-level ini sering kali dianggap sebagai titik balik, meskipun likuidasi yang terus-menerus dapat memperpanjang volatilitas dan mengikis kepercayaan investor.
Pandangan Michael Burry tentang Bitcoin dan Implikasinya
Di tengah gejolak pasar ini, pandangan skeptis dari Michael Burry, investor terkenal yang sukses memprediksi krisis subprime mortgage 2008, kembali mengemuka. Dalam wawancara pertamanya setelah lebih dari satu dekade, Burry mengkritik keras Bitcoin, membandingkannya dengan "gelembung tulip" dan menyatakan bahwa aset digital ini tidak bernilai serta rentan terhadap aktivitas kriminal. Komentarnya ini menambah tekanan pada sentimen pasar kripto yang sudah rapuh.
Burry menarik perbandingan Bitcoin dengan emas, yang ia pandang sebagai penyimpan nilai stabil sejak tahun 2005. Pandangan bearish-nya ini muncul tepat saat pasar kripto sedang tertekan, membuat suasana hati investor semakin gelisah. Di Indonesia, di mana minat terhadap aset kripto tumbuh pesat, komentar dari tokoh sekaliber Burry tentu menjadi perhatian, memicu perdebatan antara para pendukung aset digital dan mereka yang masih meragukan nilainya.
Skeptisisme Burry dan Tren Pasar Global
Tidak hanya Bitcoin, Michael Burry juga memprediksi potensi krisis ekonomi yang lebih besar daripada dot-com bubble, mengutip valuasi yang terlalu tinggi di pasar saham dan meningkatnya utang konsumen. Posisi short-nya pada saham perusahaan teknologi besar seperti Nvidia, Tesla, dan Palantir, bersamaan dengan pembatalan registrasi dana kelolaannya, memicu spekulasi apakah pasar telah terlalu euforia. Namun, banyak kritikus berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan ini tetap profitabel dan memiliki fundamental yang kuat.
Di sisi lain, ada sudut pandang yang lebih optimis, seperti yang disajikan oleh grafik siklus Samuel Benner tahun 1875. Model ini mengindikasikan tahun 2023 sebagai "tahun kesulitan" dan waktu yang baik untuk mengakumulasi aset berisiko, termasuk kripto (jika ada pada zamannya), dengan proyeksi puncak pasar pada tahun 2026. Bahkan saat kripto sedang turun, pola ini menunjukkan adanya peluang, menyiratkan bahwa kita mungkin hanya setahun lagi dari potensi puncak pasar, jika siklus ini terbukti akurat.
Menavigasi Siklus Kripto: Antara Ketakutan dan Peluang
Meskipun pasar kripto saat ini diselimuti ketidakpastian dan terus menghadapi gelombang likuidasi, para trader yang berpengalaman seringkali berpendapat bahwa pemulihan sering dimulai justru ketika ketakutan mencapai puncaknya dan ketika investor paling tidak menduganya. Siklus pasar yang berulang kali menunjukkan bahwa periode konsolidasi atau penurunan tajam dapat menjadi fondasi bagi pertumbuhan di masa depan. Bagi investor di Indonesia, yang mungkin baru mengenal pasar kripto atau sedang menghadapi kerugian, penting untuk menjaga perspektif jangka panjang dan melakukan riset mendalam sebelum membuat keputusan investasi.
Pentingnya manajemen risiko menjadi sangat krusial dalam kondisi pasar seperti ini. Menggunakan leverage secara berlebihan dapat mempercepat kerugian, seperti yang terlihat dari banyaknya likuidasi. Sebaliknya, pendekatan investasi yang lebih konservatif, seperti strategi dollar-cost averaging (DCA) atau akumulasi bertahap selama periode penurunan, bisa menjadi pilihan bijak. Meskipun Michael Burry menyuarakan skeptisisme, ada juga pandangan yang melihat potensi fundamental dari teknologi blockchain dan adopsi kripto yang terus berkembang di berbagai sektor, termasuk di Indonesia.
Jadi, sembari pasar menunggu arah selanjutnya, dan likuidasi terus berlanjut, investor yang bijaksana memahami bahwa di balik setiap gejolak, ada pelajaran dan potensi peluang. Akhir pekan ini, mari kita sejenak menepi dari hiruk pikuk pasar, menikmati waktu luang, dan bersiap menyambut potensi pergerakan pasar di masa mendatang, dengan harapan adanya pemulihan yang kuat menjelang akhir tahun.