ASEAN Menjemput Era Baru: Sinergi Modal, Skala, dan Talenta Global
Perkembangan terbaru di kancah geopolitik dan ekonomi global menunjukkan pergeseran fokus kerja sama regional yang signifikan. Pada Mei 2025, KTT Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) di Kuala Lumpur mencatat sejarah penting dengan partisipasi Tiongkok dan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) untuk pertama kalinya. Acara ini bukan sekadar pertemuan biasa; melainkan sebuah deklarasi niat untuk menjalin kemitraan strategis yang lebih dalam, menggabungkan energi dan talenta ASEAN dengan modal besar dari negara-negara Teluk serta skala ekonomi Tiongkok yang masif. Inisiatif ini menandai babak baru dalam upaya ASEAN untuk memperkuat posisinya di panggung global, sekaligus mencari jalan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi di tengah dinamika perdagangan internasional yang penuh tantangan.
Membuka Babak Baru Kerja Sama
KTT yang berlangsung di Kuala Lumpur tersebut dirancang untuk mengukuhkan kerja sama di berbagai sektor vital. Tujuan utamanya meliputi peningkatan perdagangan dan investasi, pembangunan infrastruktur, pengembangan energi hijau, dan penguatan ekonomi digital. Lebih jauh lagi, pertemuan ini bertujuan untuk mengangkat peran global ASEAN dan mempromosikan kolaborasi dalam isu-isu krusial seperti keamanan pangan dan energi, pembangunan berkelanjutan, serta kesiapan menghadapi pandemi di masa depan. Anggota ASEAN, yang meliputi Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, kini berhadapan langsung dengan kekuatan ekonomi global dari Tiongkok dan negara-negara GCC (Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab).
Ketika digabungkan, kekuatan ekonomi ketiga entitas ini—ASEAN, GCC, dan Tiongkok—menciptakan proposisi yang luar biasa. Total Produk Domestik Bruto (PDB) gabungan mereka mencapai sekitar 25 triliun dolar AS, didukung oleh populasi kumulatif yang melampaui 2,1 miliar jiwa. Angka-angka ini menggambarkan potensi pasar yang tak tertandingi dan kapasitas ekonomi yang kolosal. Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, dalam sebuah pertemuan di Singapura beberapa hari setelah KTT, dengan tepat merangkum visi di balik kerja sama ini: "menghubungkan energi dan talenta ASEAN dengan modal dari Teluk dan skala Tiongkok." Sebuah pernyataan yang menggarisbawahi harapan besar akan sinergi lintas benua.
Momentum di Tengah Tantangan Global
Momen bersejarah KTT ini hadir di tengah ketidakpastian ekonomi global, khususnya terkait perang tarif. Pada awal April, Presiden AS Donald Trump mengumumkan "Hari Pembebasan" melalui serangkaian tarif baru yang secara spesifik menargetkan Tiongkok dan negara-negara ASEAN. Meskipun guncangan tarif ini kemudian mereda melalui negosiasi, dengan tarif yang существенно berkurang—misalnya, menjadi 19% untuk Kamboja, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand; 20% untuk Vietnam; dan 25% untuk Brunei Darussalam—dampaknya tetap terasa. Myanmar dan Laos menghadapi tarif 40% yang memberatkan, sementara Singapura, dengan defisit perdagangan terhadap AS, membayar tarif terendah 10%. Kebijakan tarif ini, terlepas dari intensi awalnya, secara tidak langsung mendorong negara-negara ASEAN untuk semakin memperkuat koneksi intraregional dan mencari mitra baru di luar tatanan tradisional.
Dari Deklarasi ke Aksi Nyata
Meskipun banyak pihak yang berharap pada hasil konkret, John Ashbourne, ekonom senior pasar berkembang di Fitch Solutions di London, menyatakan bahwa KTT tersebut lebih banyak menghasilkan "deklarasi niat daripada komitmen yang mengikat secara hukum." Namun, hal ini tidak berarti tidak ada kemajuan. Investasi dari negara-negara GCC ke ASEAN telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, sebuah tren yang diperkirakan akan terus berlanjut. Dana kekayaan negara (Sovereign Wealth Funds/SWFs) dari negara-negara Teluk menjadi semakin aktif di kawasan ini, melihat potensi signifikan untuk kerja sama dalam investasi infrastruktur, ekonomi digital, dan inisiatif ekonomi hijau. Selain itu, keuangan syariah juga memiliki potensi besar di kawasan ini, dengan Malaysia menjadi salah satu pemimpin penting di bidang ini, seiring dengan semakin banyaknya perusahaan GCC yang ingin terlibat dalam ekosistem lokal.
Salah satu hasil nyata dari KTT tersebut adalah penandatanganan kesepakatan antara perusahaan milik negara Tiongkok, China Harbour Engineering Company (CHEC), untuk mengembangkan pelabuhan dan pusat industri di pantai timur laut Malaysia. Proyek ini merupakan bagian integral dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) Tiongkok yang ambisius. Perlu dicatat bahwa China Communications Construction Company, induk CHEC dan perusahaan konstruksi terbesar keempat di dunia berdasarkan pendapatan, juga merupakan kontraktor utama untuk Jalur Kereta Api Pesisir Timur Malaysia—proyek BRI terbesar di negara itu—dan pemain kunci dalam proyek infrastruktur ASEAN lainnya, termasuk Jalur Kereta Api Tiongkok-Laos. Keterlibatan ini menunjukkan komitmen Tiongkok yang mendalam terhadap pembangunan infrastruktur di kawasan, yang sekaligus menggarisbawahi potensi pembangunan yang dapat dimanfaatkan oleh negara-negara ASEAN.
Dinamika Investasi dan Keuangan
Dana kekayaan negara (SWFs) dari negara-negara GCC merupakan "hadiah" yang menarik bagi ASEAN dan Tiongkok. SWFs ini telah mengadopsi pendekatan investasi yang jauh lebih agresif, termasuk dalam merger dan akuisisi (M&A) lintas batas. Abu Dhabi memiliki tiga SWFs, sementara Kuwait, Arab Saudi, dan Qatar masing-masing memiliki satu, dengan total gabungan aset mencapai $4 triliun. Angka ini diproyeksikan oleh spesialis industri Global SWF akan melonjak hingga hampir $18 triliun pada tahun 2030. Tahun lalu saja, keenam SWFs GCC ini menyumbang 54% dari dana yang disalurkan secara global oleh SWFs. Selain itu, bank dan lembaga kredit ekspor juga memainkan peran penting dalam mendorong kemauan politik pemerintah di ASEAN, Tiongkok, dan negara-negara GCC untuk melaksanakan kerja sama sinergis yang diamanatkan dalam komunike KTT.
Proses kerja sama ini sebenarnya sudah berjalan sebelum KTT. Pada November tahun sebelumnya, Export-Import Bank of Malaysia menandatangani perjanjian kerangka kerja dengan Export-Import Bank of China, yang bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan bilateral. Berdasarkan perjanjian tersebut, China Exim Bank menyediakan jalur kredit renminbi kepada perusahaan-perusahaan Malaysia yang memenuhi syarat untuk berbisnis di Tiongkok. Jalur kredit ini akan mendanai pembelian produk mekanik dan elektronik buatan Tiongkok, peralatan, produk dan layanan berteknologi tinggi, serta kolaborasi dalam sumber daya alam, eksplorasi energi, dan proyek konstruksi bersama. Kerangka kerja ini juga akan memfasilitasi proyek kerja sama pasar pihak ketiga di bawah BRI Tiongkok yang ambisius, serta transaksi perdagangan antara Malaysia dan Tiongkok, dengan memprioritaskan proyek energi dan infrastruktur, khususnya pembiayaan energi bersih dan inisiatif hijau yang dipimpin oleh perusahaan Malaysia dan Tiongkok. Hal ini mencerminkan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan dan diversifikasi sumber energi.
Kolaborasi di Pasar Utang
Satu area di mana ketiga pihak dapat bekerja sama secara jelas adalah di pasar utang, baik dalam format obligasi maupun pinjaman. Pinjaman sindikasi yang berasal dari ASEAN semakin sering melibatkan bank-bank Tiongkok dan GCC di tingkat teratas. Di pasar obligasi primer yang diterbitkan ASEAN, kunjungan ke pusat-pusat keuangan besar Tiongkok dan GCC telah menjadi praktik umum untuk roadshow. Tiongkok bahkan dapat menggelontorkan hingga $139 miliar ke pasar obligasi mata uang lokal ASEAN jika proposal yang diajukan pada Juli oleh regulator Tiongkok untuk memperluas jalur "southbound leg" dari saluran Bond Connect—yang memungkinkan institusi di daratan Tiongkok mengakses pasar obligasi Hong Kong—terwujud.
Koh Chin Chin, Kepala Grup Perbendaharaan, Riset, dan Advokasi Pelanggan di United Overseas Bank (UOB) di Singapura, menyatakan optimisme terhadap potensi jangka panjang ASEAN. Ia menyebutkan fundamental yang kuat, termasuk populasi muda, kelas menengah yang terus bertumbuh, dan infrastruktur yang kokoh mendukung perdagangan. "Ada banyak peluang dan area potensi kerja sama yang muncul dari beberapa tren, seperti diversifikasi mitra dagang dan peningkatan perdagangan intra-ASEAN," ujarnya. UOB sendiri, lanjut Koh, telah menyadari pentingnya pasar obligasi Panda (penerbitan oleh entitas asing dalam renminbi onshore) seiring dengan terus liberalisasinya renminbi dan pasar keuangan Tiongkok. Selain itu, UOB juga melihat meningkatnya minat investor GCC untuk penerbitan obligasi konvensional, menunjukkan adanya keselarasan kepentingan finansial.
Masa Depan yang Lebih Tangguh dan Terhubung
Tarif Trump, yang pada awalnya menyebabkan gangguan dan mengungkap kerentanan, secara tidak sengaja mempercepat langkah ASEAN menuju koneksi intraregional yang lebih erat dan kemitraan ekonomi. Poppy Winanti, profesor hubungan internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Indonesia, mengamati bahwa strategi-strategi ini dalam jangka panjang mengarah pada ASEAN yang lebih tangguh dan saling terhubung, yang kurang bergantung pada satu mitra dagang tunggal dan memainkan peran yang lebih besar dalam tren perdagangan global di masa depan. Namun, Carmelo Ferlito, CEO Center for Market Education di Kuala Lumpur, memiliki pandangan yang lebih terbagi. Meskipun ia memahami kebutuhan diversifikasi dalam perdagangan dan investasi langsung asing, ia juga mencatat perbedaan bobot relatif Tiongkok dan negara-negara Teluk dalam hubungan dengan ASEAN. Tiongkok adalah pemain dominan, sementara negara-negara Teluk masih memainkan peran yang lebih terbatas, meskipun sedang berkembang.
Peran ASEAN sebagai Jembatan
Dalam semua dinamika ini, optimisme tampaknya pantas diberikan. John Ashbourne dari Fitch Solutions melihat ASEAN sebagai "broker netral" yang unik. "ASEAN sering dilihat sebagai broker netral; ia dapat menyatukan negara atau kelompok yang mungkin tidak memiliki hubungan dekat," katanya. "Jadi, dalam beberapa hal, ini adalah mitra yang sempurna untuk membawa para pemimpin dari GCC dan Tiongkok bersama-sama dalam satu ruangan. Ini bisa, benar-benar, menjadi awal dari sesuatu yang besar." Pernyataan ini menegaskan posisi strategis ASEAN yang mampu menjembatani perbedaan dan memfasilitasi kerja sama lintas regional, menawarkan peluang tak terbatas untuk pertumbuhan dan kemakmuran bersama.
Kesimpulannya, KTT Mei 2025 merupakan penanda dimulainya era baru kerja sama yang ambisius antara ASEAN, Tiongkok, dan GCC. Dengan menyatukan modal, skala, dan talenta, kemitraan ini memiliki potensi untuk mengubah lanskap ekonomi global, menciptakan jalur pertumbuhan baru, dan memperkuat ketahanan regional di tengah ketidakpastian. Meskipun tantangan dan ketidakseimbangan masih ada, visi untuk sebuah ASEAN yang lebih terhubung, tangguh, dan berperan aktif di kancah dunia tampaknya semakin mendekati kenyataan.