Mengatasi Gap Proteksi Asuransi di Indonesia: Tantangan & Peluang

Eksekutif asuransi profesional dengan tatapan fokus, merefleksikan tantangan dan peluang dalam dunia asuransi yang berisiko.

Key Points:

  • Kesenjangan proteksi asuransi secara global terus melebar akibat perubahan iklim, urbanisasi pesat, dan tekanan inflasi.
  • Kerugian ekonomi dari bencana alam dan kejahatan siber seringkali tidak tercover asuransi, menciptakan beban finansial yang besar.
  • Industri asuransi menghadapi dilema antara kewajiban moral untuk melindungi masyarakat dan peluang bisnis yang besar dalam menutup kesenjangan ini.
  • Pemanasan global meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana, membuat perusahaan asuransi lebih berhati-hati dalam menanggung risiko.
  • Tingginya biaya premi asuransi menjadi alasan utama mengapa banyak individu dan usaha kecil menengah (UKM) memilih untuk tidak berasuransi.
  • Pasar berkembang seperti Indonesia menawarkan potensi pertumbuhan signifikan, namun memerlukan edukasi pelanggan dan produk yang terjangkau.
  • Teknologi seperti Kecerdasan Buatan (AI) menawarkan solusi inovatif untuk mengatasi keterbatasan data dan meningkatkan efisiensi operasional asuransi.
  • Kemitraan antara sektor publik dan swasta sangat krusial untuk membangun mekanisme berbagi risiko dan solusi jangka panjang yang berkelanjutan.

Dunia yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian membawa tantangan baru bagi berbagai sektor, tidak terkecuali industri asuransi. Perubahan iklim yang semakin ekstrem, laju urbanisasi yang pesat, dan tekanan inflasi yang terus meningkat telah berkonvergensi, menghasilkan kerugian yang jauh lebih besar dari bencana alam seperti angin topan dan kebakaran hutan. Data dari Swiss Re menunjukkan bahwa selisih antara total kerugian ekonomi global dan bagian yang ditanggung oleh polis asuransi meningkat 3,1% dari tahun ke tahun, mencapai $1,83 triliun pada tahun 2023. Kesenjangan proteksi global ini telah tumbuh lebih dari 40% sejak tahun 2013. Apabila kerugian besar yang sebagian besar tidak diasuransikan dan kurang dilaporkan akibat kejahatan siber turut diperhitungkan, maka eksposur yang tidak diasuransikan di seluruh perekonomian global melampaui $2 triliun pada tahun 2023. Angka-angka ini menunjukkan adanya ‘gap’ atau kesenjangan proteksi asuransi yang kian menganga, sebuah fenomena yang juga relevan dan dirasakan dampaknya di Indonesia.

Giulio Terzariol, CEO Insurance di Generali Group yang berbasis di Trieste, menyatakan, "Kesenjangan proteksi berarti banyak individu dan UKM tidak memiliki mekanisme dasar penanggulangan risiko saat menghadapi bencana alam, guncangan kesehatan, atau peristiwa tak terduga." Ia menambahkan bahwa situasi ini tidak hanya memperparah kemiskinan dan memperlambat pemulihan, tetapi juga secara langsung memengaruhi stabilitas sosial dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Bagi Terzariol, mengurangi kesenjangan proteksi ini adalah kewajiban moral sekaligus peluang bisnis yang signifikan bagi industri asuransi. "Tanggung jawab dan peluang yang terkait dengan kesenjangan proteksi saling melengkapi, menunjukkan pentingnya menyelaraskan model bisnis dengan nilai sosial," tegasnya.

Pandangan ini tidak sendiri. Sebuah survei terbaru terhadap lebih dari 500 eksekutif asuransi oleh The Economist Impact dan penasihat teknologi SAS mengungkapkan bahwa 78% responden menganggap penutupan kesenjangan ini sebagai kewajiban etis industri, dan 76% juga melihatnya sebagai peluang bisnis yang "signifikan". Namun, menutup kesenjangan ini tentu saja menghadirkan tantangan besar bagi industri asuransi, terutama di negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki karakteristik geografis dan sosial ekonomi yang unik.

Meningkatnya Kesenjangan Proteksi Asuransi di Indonesia dan Global

Definisi dan estimasi kesenjangan cakupan asuransi secara keseluruhan memang bervariasi, tetapi secara luas diakui bahwa kesenjangan ini telah meningkat secara dramatis selama dekade terakhir. Di Indonesia, kesenjangan ini terasa dalam berbagai bentuk, mulai dari asuransi bencana alam hingga asuransi kesehatan yang belum merata. Banyak individu dan bisnis di Indonesia, terutama UKM, masih belum memiliki perlindungan asuransi yang memadai, meninggalkan mereka rentan terhadap berbagai risiko finansial.

Salah satu faktor utama yang memperburuk masalah ini adalah pemanasan global dan pola cuaca yang semakin tidak menentu. Bencana alam seperti banjir bandang, gempa bumi, dan letusan gunung berapi sering melanda Indonesia. Ini bukan hanya masalah frekuensi, tetapi juga intensitas. Contoh terbaru adalah berbagai peristiwa banjir dan tanah longsor yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia setiap musim hujan, menimbulkan kerugian material dan korban jiwa yang signifikan. Di sisi lain, urbanisasi yang pesat di kota-kota besar Indonesia juga menempatkan lebih banyak aset dan populasi di daerah yang rawan bencana, memperbesar potensi kerugian.

Dampak Pemanasan Global dan Keengganan Penanggung Risiko

Sridhar Manyem, direktur senior riset dan analitik industri di AM Best, menjelaskan, "Peningkatan volatilitas iklim memainkan peran penting dalam [pertumbuhan] kesenjangan proteksi." Ada dua aspek utama: pertama, frekuensi dan keparahan peristiwa terkait iklim terus meningkat, dan kedua, populasi semakin bermigrasi ke tempat-tempat yang rentan terhadap peristiwa ini. Di Indonesia, fenomena ini sangat jelas terlihat. Banyak masyarakat membangun tempat tinggal di daerah aliran sungai, lereng gunung, atau pesisir pantai yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana alam.

Dengan reasuradur yang menaikkan tarif dan memperketat persyaratan dengan perusahaan asuransi, pasar menjadi semakin tertekan. "Kombinasi kondisi ini telah membuat perusahaan asuransi semakin enggan menanggung risiko," tambah Manyem. Di pasar yang sudah maju seperti Amerika Serikat, yang menyumbang lebih dari separuh seluruh premi properti dan kerugian (P&C) secara global, perusahaan asuransi mengurangi eksposur mereka di wilayah berisiko tinggi seperti Florida dan California. Premi untuk cakupan telah meningkat dua digit tinggi di banyak daerah, dan perusahaan besar seperti State Farm dan Allstate telah mengadopsi strategi non-perpanjangan polis untuk mengurangi eksposur mereka. Tren serupa berpotensi terjadi di Indonesia, di mana perusahaan asuransi mungkin mulai membatasi cakupan atau menaikkan premi di daerah-daerah yang rawan bencana.

Akibatnya, biaya asuransi semakin tinggi dan semakin banyak konsumen serta bisnis memilih untuk tidak membeli asuransi. "Selama lima tahun terakhir, jumlah individu yang memilih untuk tidak memiliki asuransi terus bertambah," kata Franklin Manchester, penasihat strategis asuransi global di SAS. "Apakah saya akan membayar premi asuransi saya atau membeli kebutuhan pokok? Apakah saya akan memenuhi gaji untuk bisnis saya atau memotong cakupan asuransi karena tidak mampu? Itu adalah pilihan nyata yang harus dihadapi konsumen dan bisnis," sebuah dilema yang sangat relevan bagi masyarakat Indonesia, di mana prioritas pengeluaran seringkali diarahkan untuk kebutuhan sehari-hari yang mendesak.

Peluang Besar di Pasar Berkembang, Termasuk Indonesia

Masalah keterjangkauan merupakan penghalang yang lebih besar lagi di negara-negara berkembang yang kurang diasuransikan. Pasar seperti Tiongkok, India, Asia Tenggara (termasuk Indonesia), dan Amerika Latin merepresentasikan peluang besar bagi perusahaan asuransi global, khususnya untuk asuransi jiwa dan polis properti & kerugian. Penelitian Swiss Re menunjukkan bahwa hanya 6% dari kerugian ekonomi sebesar $291 miliar akibat bencana alam di Tiongkok selama 10 tahun terakhir yang ditanggung oleh asuransi—kesenjangan proteksi yang mencengangkan sebesar 94%. Angka ini adalah 91% di India dan 81% untuk seluruh Amerika Latin. Meskipun data spesifik Indonesia tidak disebutkan, kondisi serupa kemungkinan besar terjadi mengingat karakteristik ekonomi dan kesadaran asuransi di kawasan ini.

"Pasar berkembang global jauh lebih sedikit ditembus daripada Amerika Utara," kata James Colaco, Pemimpin Asuransi Global untuk Deloitte. "Kelas menengah yang meningkat di pasar-pasar ini menghasilkan lebih banyak kekayaan dan membutuhkan perlindungan." Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya jumlah kelas menengah menciptakan basis konsumen potensial yang besar untuk produk asuransi. Colaco melihat perusahaan asuransi jiwa mengembangkan operasi di pasar-pasar ini, tetapi dengan ketidakpastian seputar perubahan iklim dan inflasi yang lebih tinggi, perusahaan asuransi P&C lebih berhati-hati. "Ekonomi berkembang adalah jalan untuk tumbuh bagi perusahaan asuransi, tetapi mereka perlu mendekatinya dengan hati-hati," ujarnya.

Mengatasi Tantangan Edukasi dan Keterjangkauan

Sebesar apapun peluang di pasar berkembang, selalu ada tantangan besar. Hal terpenting adalah meyakinkan pelanggan yang hampir tidak memiliki pengalaman dengan asuransi tentang nilai proposisi produk tersebut. "Edukasi pelanggan dan kepercayaan adalah tantangan utama," kata Terzariol dari Generali, yang perusahaannya memiliki operasi yang berkembang di Asia. "Banyak calon pelanggan kurang memiliki kesadaran tentang nilai dan peran asuransi dan bahkan memiliki rasa ketidakpercayaan terhadapnya." Ini adalah situasi yang sering dihadapi di Indonesia, di mana pemahaman akan asuransi masih perlu ditingkatkan, dan kepercayaan publik terhadap industri ini masih harus dibangun.

Solusi yang disarankan oleh Terzariol adalah produk yang lebih sederhana, transparan, dan mudah diakses, program edukasi yang meningkatkan kesadaran risiko, serta proses klaim yang lebih cepat dan efisien. Polis juga harus terjangkau bagi populasi berpenghasilan rendah. "Sensitivitas harga adalah karakteristik kunci pasar berkembang. Kita harus mengembangkan solusi yang hemat biaya dan lebih fleksibel dalam metode pembayaran untuk membuat asuransi benar-benar terjangkau," jelas Terzariol. Inovasi produk seperti asuransi mikro dengan premi terjangkau dan proses klaim sederhana sangat dibutuhkan di Indonesia untuk menjangkau segmen pasar yang belum tersentuh.

Janji Teknologi AI dan Inovasi Digital

Teknologi menawarkan cara terbaik untuk mengembangkan penawaran yang hemat biaya seperti asuransi parametrik—polis dengan pembayaran yang dipicu oleh parameter objektif, dan asuransi mikro—polis yang lebih sederhana dengan batas cakupan yang lebih rendah dan premi yang lebih terjangkau. Kekurangan data kerugian dan klaim historis telah menjadi penghalang bagi perusahaan asuransi yang ingin memasuki pasar berkembang. Namun, teknologi dapat membantu menjembatani kesenjangan ini.

"Kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), penginderaan jauh, big data, dan citra satelit memungkinkan perusahaan asuransi untuk mendapatkan pengetahuan fundamental tentang risiko tanpa harus berinvestasi dalam sistem klaim, penilai, dan personel lain di wilayah terpencil," kata Manyem dari AM Best. Di Indonesia, di mana data seringkali tersebar atau belum terintegrasi dengan baik, penggunaan AI untuk menganalisis data geospasial atau data non-tradisional lainnya bisa sangat revolusioner. Model AI dan platform seluler dapat membuat operasi asuransi mulai dari penilaian risiko hingga distribusi produk, pemrosesan klaim, dan layanan pelanggan jauh lebih efisien dan murah. Ini adalah kunci untuk menurunkan biaya operasional dan pada akhirnya menawarkan premi yang lebih kompetitif kepada konsumen.

Pada akhirnya, AI diharapkan memiliki dampak besar di seluruh operasi perusahaan asuransi global, tetapi juga bisa menjadi kunci untuk membantu perusahaan memasuki pasar baru yang kurang diasuransikan di mana kesenjangan proteksi adalah yang terbesar. "Perusahaan asuransi yang memasuki pasar baru harus merebut hati dan pikiran pelanggan, dan AI serta layanan digital yang lebih personal akan mengubah permainan," kata Colaco. "Setiap perusahaan asuransi pada akhirnya akan merangkul AI, tetapi mereka yang mengadopsinya lebih awal akan memiliki keuntungan." Di Indonesia, adopsi AI dan digitalisasi dapat menjadi faktor penentu bagi perusahaan asuransi untuk memperluas jangkauan dan penetrasi pasar, terutama di daerah-daerah yang sebelumnya sulit dijangkau.

Kemitraan Publik-Swasta: Kunci Solusi Jangka Panjang

Namun, pada akhirnya, AI saja tidak akan menutup kesenjangan proteksi asuransi global. Demikian pula, perusahaan asuransi tidak dapat melakukannya sendiri. Di banyak pasar negara berkembang, asuransi akan tetap tidak terjangkau dan mungkin memerlukan subsidi pemerintah agar dapat berjalan. Hal yang sama berlaku untuk wilayah berisiko tinggi di pasar maju di mana skala kerugian sekarang bisa sangat besar sehingga perusahaan asuransi dan reasuransi tidak dapat menanggungnya sendiri.

"Pelebaran kesenjangan proteksi adalah hasil dari banyak faktor yang bekerja bersama dan berasal dari meningkatnya kompleksitas risiko," kata Terzariol. "Kita perlu membangun solusi jangka panjang yang melibatkan kemitraan publik-swasta yang dapat memainkan peran lebih besar dalam pencegahan risiko, pemulihan, dan mekanisme berbagi risiko publik." Di Indonesia, pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama erat untuk menciptakan kerangka kerja yang mendukung asuransi, misalnya melalui program mitigasi bencana, pembangunan infrastruktur yang lebih tangguh, dan skema subsidi asuransi bagi masyarakat rentan. Dengan demikian, kita dapat bergerak menuju masa depan di mana lebih banyak masyarakat Indonesia terlindungi dari ketidakpastian dunia yang semakin berisiko ini.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org