Perbankan Indonesia di Era Digital: Hadapi Tantangan, Raih Peluang AI

Alexandra Mousavizadeh, seorang pakar industri, berdiskusi tentang dampak revolusioner kecerdasan buatan pada sektor perbankan global.

Dunia perbankan selalu berada di garda terdepan dalam menghadapi gejolak ekonomi global. Di tengah ketidakpastian yang kian meningkat, industri ini, termasuk di Indonesia, berdiri di persimpangan jalan. Meskipun dibekali kekuatan relatif dari profitabilitas yang solid dan harapan besar terhadap kecerdasan buatan (AI) untuk membuka gelombang efisiensi dan pertumbuhan baru, fondasi kuat ini kini dihadapkan pada berbagai tantangan signifikan.

Dinamika Ekonomi Global dan Tekanan Kompetitif

Dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan suku bunga telah memberikan margin yang lebih lebar dan keuntungan yang lebih besar bagi bank-bank di seluruh dunia. Namun, kini tren tersebut mulai berbalik arah; suku bunga kembali menurun. Ketegangan perdagangan global dan ketidakpastian ekonomi di negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok menciptakan riak yang terasa hingga ke pasar berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini berpotensi menahan minat kredit dan investasi.

Selain itu, kompetisi dari lembaga keuangan non-bank (non-bank lenders) terus merebut pangsa pasar, mulai dari akuisisi korporasi hingga kredit kepemilikan rumah. Sistem pembayaran non-bank, seperti stablecoin dan mata uang digital bank sentral (CBDC), juga menawarkan alternatif terhadap jaringan antarbank tradisional. Fenomena ini menciptakan apa yang disebut Sean Viergutz, pemimpin penasihat pasar perbankan dan modal di PwC, sebagai "dunia multi-kejutan". Bagi bank-bank di Indonesia, tekanan kompetitif dari fintech dan lembaga keuangan digital semakin intens, mendorong perlunya inovasi dan adaptasi yang cepat.

Revolusi AI di Sektor Perbankan: Efisiensi dan Inovasi

Di luar gangguan eksternal tersebut, kejutan terbesar justru datang dari dalam industri itu sendiri: AI. Para pemimpin bank di Indonesia, seperti halnya di kancah global, berbondong-bondong menerapkan teknologi ini untuk mengoptimalkan operasional back office hingga meningkatkan hubungan dengan nasabah. Intensitas adopsi AI ini bahkan terkadang mengalahkan kekhawatiran eksternal. Amit Vora, Kepala Penjualan untuk Bank Regional dan Manajer Aset di Crisil Intergal IQ, menyatakan bahwa AI kini menjadi bagian dari kosakata perbankan yang lebih dominan daripada risiko dan kredit.

Meskipun manfaat penuh dari AI mungkin baru akan terlihat beberapa tahun ke depan, khususnya sistem "agentic AI" yang revolusioner diperkirakan akan hadir pada tahun 2028, bank-bank tidak memiliki pilihan selain terus maju. Potensi AI untuk memangkas biaya operasional, meningkatkan efisiensi, dan mempertajam daya saing sangatlah besar. Alexandra Mousavizadeh, salah satu pendiri Evident, sebuah konsultan yang melacak adopsi AI di layanan keuangan, memprediksi bahwa begitu dampak AI ini terasa pada keuntungan bersih, kesenjangan antara pemimpin dan mereka yang tertinggal akan menjadi sangat jelas.

Penerapan AI dalam perbankan bukanlah perkara mudah. Ini membutuhkan "re-engineering model bisnis dari hulu ke hilir," kata Viergutz, yang berarti memikirkan ulang proses-proses esensial yang mencakup berbagai wilayah dan tingkatan manajemen. Namun, bagi bank-bank besar di Indonesia yang memiliki kemampuan IT yang kuat dan sumber daya untuk menarik talenta AI, ini adalah peluang emas untuk menjadi pemimpin pasar.

Kondisi Keuangan dan Prospek Pertumbuhan

Untungnya, beberapa tahun terakhir telah meninggalkan industri perbankan dengan bantalan yang kokoh untuk menghadapi berbagai guncangan. Di tengah gempuran tantangan, bank-bank besar global mencatat peningkatan pendapatan yang signifikan. Di Indonesia, sektor perbankan juga menunjukkan ketahanan, didukung oleh stabilitas makroekonomi dan pertumbuhan kredit yang selektif. Namun, prospek pertumbuhan ke depan masih diwarnai ketidakpastian.

Meskipun ekonomi global menunjukkan ketahanan yang lebih baik dari perkiraan, pertumbuhan kredit di beberapa pasar masih stagnan atau menghadapi risiko baru. Misalnya, di AS, sebagian besar peningkatan kredit bank berasal dari pinjaman ke dana kredit swasta (private credit funds) yang kurang transparan, menimbulkan kekhawatiran risiko. Dana Moneter Internasional (IMF) juga memperingatkan bahwa paparan bank terhadap lembaga keuangan non-bank (NBFIs) yang meningkat dapat secara signifikan mempengaruhi rasio modal bank.

Di Asia, meskipun Jepang dan sebagian negara maju menunjukkan tanda-tanda pemulihan, Tiongkok menghadapi tantangan internal dengan pertumbuhan kredit yang melambat dan risiko "zombie companies." Situasi ini menyoroti pentingnya diversifikasi portofolio dan manajemen risiko yang cermat bagi bank-bank di Indonesia.

Aset Digital dan Blockchain: Peluang Baru

Tren teknologi besar lainnya, aset digital, telah mendapatkan legitimasi yang cepat, terutama di pasar negara berkembang. India, Nigeria, dan Indonesia menjadi tiga besar negara dengan transaksi kripto terbanyak tahun lalu, menurut Chainalysis. Ini menunjukkan adanya permintaan yang signifikan di luar pasar tradisional. Meskipun penerimaan stablecoin di AS atau Eropa masih belum jelas, bank-bank mapan sangat tertarik pada teknologi blockchain yang mendasari aset digital ini.

Biswarup Chatterjee, Kepala Kemitraan dan Inovasi di Citigroup, mencatat adopsi "tokenized deposits" yang sangat baik, khususnya dari perusahaan multinasional yang ingin menghubungkan akun di seluruh dunia dengan lebih lancar. Ini memungkinkan pergerakan uang yang lebih cepat dan efisien. Di Indonesia, inisiatif terkait CBDC dan eksplorasi teknologi blockchain oleh Bank Indonesia dan lembaga keuangan lainnya menunjukkan kesiapan untuk memanfaatkan potensi teknologi ini guna meningkatkan efisiensi dan inklusi keuangan.

Prospek Konsolidasi Perbankan

Dengan tidak adanya gelombang pertumbuhan yang kuat untuk mengangkat semua pelaku, dan guncangan teknologi yang terus mengguncang beberapa pemain yang lebih lemah, konsolidasi perbankan diperkirakan akan semakin cepat. Di AS, tekanan pasar diperkuat oleh regulasi antimonopoli yang lebih longgar. Beberapa merger besar telah terjadi, menandakan era konsolidasi.

Di Jepang, suku bunga positif setelah puluhan tahun deflasi mendorong ambisi untuk merebut lebih banyak nasabah dan memberikan lebih banyak pinjaman, memicu merger antar bank regional. Sementara itu, di Eropa, konsolidasi antar-negara masih terhambat oleh kebijakan pemerintah yang cenderung melindungi juara nasional. Bagi Indonesia, di mana jumlah bank masih cukup banyak dan persaingan semakin ketat, tren konsolidasi ini mungkin juga akan terjadi, didorong oleh kebutuhan efisiensi, skala ekonomi, dan kemampuan untuk berinvestasi dalam teknologi.

Masa Depan Perbankan Indonesia

Akhir tahun 2025 merupakan periode yang menarik bagi para bankir. Setelah bertahun-tahun beradaptasi dengan regulasi yang lebih ketat dan suku bunga rendah, industri ini kini memiliki lebih banyak kendali atas takdirnya sendiri, didukung oleh neraca keuangan yang kuat. "Periode ini membawa peluang baru bagi sektor ini," kata Viergutz. "Bank menjadi menarik lagi untuk investasi. Profitabilitas bisa meningkat pesat. Saya pikir ini adalah kemenangan."

Namun, untuk beberapa pihak, prospek ini mungkin tidak secerah itu, terutama bagi mereka yang pekerjaannya terancam oleh otomatisasi AI atau yang beroperasi di segmen kredit berisiko tinggi. Bagi perbankan Indonesia, adaptasi cepat terhadap perubahan teknologi, khususnya AI dan blockchain, serta kemampuan untuk menavigasi dinamika ekonomi global dan kompetisi lokal, akan menjadi kunci untuk meraih kemenangan di era digital ini.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org