Prospek Kripto 2026: Supercycle atau Bear Market Berlanjut?

Grafik fluktuasi harga Bitcoin dan Ethereum serta indikator sentimen pasar kripto yang mencerminkan ketidakpastian investor di tengah perdebatan bull dan bear market.

Menjelang penutupan tahun, komunitas kripto dihadapkan pada pertanyaan krusial: apakah kita berada dalam fase bear market yang berkepanjangan, ataukah tahun 2026 akan menjadi awal dari supercycle yang dinanti? Perdebatan ini semakin memanas seiring dengan aksi harga yang cenderung bearish di seluruh pasar kripto. Namun, data ekonomi terbaru dan perubahan kebijakan moneter global memberikan gambaran yang lebih kompleks, menciptakan campuran antara optimisme hati-hati dan kekhawatiran yang beralasan di kalangan investor, termasuk di Indonesia.

Key Points:

  • Beberapa analis berpendapat pasar kripto telah berada dalam bear market selama setahun terakhir, ditandai dengan penurunan harga aset utama seperti Bitcoin.
  • Kekhawatiran global seperti kenaikan suku bunga Bank of Japan dan ketegangan geopolitik turut menambah ketidakpastian pasar.
  • Meskipun demikian, peningkatan kapitalisasi pasar stablecoin menunjukkan "dana segar" yang siap masuk ke pasar.
  • Pemotongan suku bunga oleh The Federal Reserve AS dan penerapan kebijakan Quantitative Easing (QE) berpotensi memicu sentimen "risk-on" di kalangan investor.
  • Regulasi yang lebih jelas, seperti Digital Asset Market CLARITY Act di AS, diharapkan membawa transparansi dan mendorong adopsi institusional.

Tren Pasar Kripto: Bear Market atau Hanya Volatilitas Biasa?

Tanda-tanda Potensi Bear Market di Pasar Kripto

Opini yang cukup kontroversial di kalangan analis menyebutkan bahwa pasar kripto sebetulnya telah berada dalam fase bear market selama setahun terakhir. Argumen ini didukung oleh fakta bahwa dari 50 aset digital teratas dengan riwayat harga satu tahun penuh, hanya token privasi seperti Zcash (ZEC) dan Monero (XMR), serta BNB, yang mampu mempertahankan nilai positif. Bitcoin, sebagai aset kripto terbesar, bahkan mencatat penurunan sekitar 14% secara year-to-date, sementara banyak aset lainnya seperti DOT, LINK, ADA, SOL, dan Ethereum mengalami koreksi signifikan antara 50% hingga 80% dalam periode yang sama.

Pada kuartal keempat tahun 2025 saja, Bitcoin mengalami penurunan lebih dari 30%, jatuh di bawah $90.000 dan saat ini diperdagangkan di kisaran $85.000 hingga $88.000. Meskipun koreksi sebesar ini sering terjadi selama bull run, namun penembusan level dukungan kunci ini telah mendorong banyak analis terkemuka untuk mengambil pandangan bearish dalam jangka menengah. Salah satu analis terkemuka, Peter Brandt, bahkan memprediksi Bitcoin dapat anjlok hingga $25.000 pada tahun 2026. Menurutnya, setiap bull run membawa pengembalian yang semakin berkurang bagi aset digital utama, dan kenaikan parabolik sebelumnya selalu diikuti oleh penurunan lebih dari 80%. Brandt menambahkan bahwa kemajuan parabolik saat ini telah terlanggar, dan penurunan 20% dari harga tertinggi sepanjang masa akan membawa harga ke $25.240. Bagi investor di Indonesia, sentimen ini memunculkan pertanyaan tentang strategi investasi yang tepat di tengah ketidakpastian ini.

Dampak Kebijakan Moneter Global Terhadap Kripto di Indonesia

Selain dinamika internal pasar kripto, kebijakan moneter global juga memainkan peran penting. Meskipun Amerika Serikat dan Inggris melakukan pemotongan suku bunga, Bank of Japan justru menaikkan suku bunganya ke level tertinggi dalam lima tahun. Kebijakan yang kontras ini menambah ketidakpastian di pasar global, khususnya karena dapat memengaruhi Yen carry trade. Ini adalah strategi investasi populer di mana para trader meminjam Yen Jepang dengan suku bunga super rendah dan mengubahnya untuk membeli aset dengan imbal hasil lebih tinggi dalam mata uang lain, seperti Dolar AS. Jika Yen carry trade terganggu, likuiditas global dapat terpengaruh, dan ini tentu akan terasa hingga ke pasar kripto, termasuk bagi investor di Indonesia.

Ketidakpastian ekonomi global, konflik yang sedang berlangsung, serta potensi ketegangan geopolitik lainnya merupakan faktor-faktor yang perlu diperhatikan. Semua ini berkontribusi pada pandangan bahwa aksi harga bearish saat ini mungkin akan berlanjut hingga tahun 2026, menimbulkan pertanyaan serius: apakah kripto benar-benar berada dalam bear market?

Menanti Supercycle Kripto 2026: Potensi Pendorong dan Katalis

Likuiditas Stabil dan Pemotongan Suku Bunga Amerika Serikat

Di sisi lain, terdapat argumen kuat yang mendukung potensi supercycle di tahun 2026. Salah satu indikator penting adalah likuiditas. Meskipun banyak yang berseru tentang kurangnya likuiditas di pasar saat ini, kenyataannya adalah kapitalisasi pasar stablecoin telah hampir dua kali lipat dalam dua belas bulan terakhir, meningkat dari $165 miliar menjadi lebih dari $300 miliar. Kenaikan ini dapat diinterpretasikan sebagai "dana segar" atau dry powder yang melimpah, siap untuk masuk ke aset kripto spekulatif kapan saja. Ini berarti, jika sentimen pasar berbalik positif, ada banyak modal yang menunggu untuk dikerahkan.

Amerika Serikat, sebagai raksasa ekonomi global, juga menjadi pusat perhatian. The Federal Reserve telah melakukan tiga kali pemotongan suku bunga pada tahun 2025, dan Polymarket bahkan memproyeksikan pemotongan lebih lanjut pada Januari mendatang. Jika ini terjadi, kebijakan Quantitative Easing (QE) kemungkinan besar akan tetap berlaku. QE cenderung meningkatkan likuiditas dalam lingkungan risk-on dengan memperluas pasokan uang dan menyuntikkannya ke dalam sistem keuangan. Dengan imbal hasil yang lebih rendah pada aset aman seperti obligasi, investor sering mengalihkan modal ke pasar yang lebih berisiko, termasuk saham dan kripto, untuk mencari imbal hasil yang lebih tinggi. Suku bunga rendah dan likuiditas yang melimpah menciptakan sentimen "risk-on", di mana investor merasa lebih nyaman mengalokasikan modal ke aset spekulatif seperti Bitcoin dan pasar kripto secara lebih luas. Secara historis, periode QE yang signifikan, seperti periode COVID-19 2020-2022, bertepatan dengan bull run kripto. Dukungan untuk tesis supercycle ini juga telah disuarakan oleh para pemimpin industri seperti pendiri Binance, CZ, dan CEO Bitmine, Tom Lee, serta banyak analis dan trader terkemuka lainnya.

Narasi Lindung Nilai Inflasi dan Perkembangan Regulasi

Selain faktor likuiditas dan kebijakan moneter, narasi Bitcoin sebagai lindung nilai inflasi juga semakin menguat. Beberapa investor melihat Bitcoin dan aset kripto langka lainnya sebagai pelindung terhadap inflasi, membeli kripto ketika pencetakan uang besar-besaran terjadi karena kekhawatiran terhadap pelemahan mata uang fiat. Narasi ini menjadi lebih relevan selama siklus QE. Contoh paling jelas adalah pada tahun 2021, di puncak siklus QE AS terakhir, yang juga menjadi bull run kripto terbesar dalam sejarah. Para trader kripto yang optimis berpendapat bahwa tahun 2026 akan menandai dimulainya siklus QE berikutnya dan, oleh karena itu, menolak klaim bahwa tahun 2025 adalah bull run, mengingat tahun tersebut justru merupakan periode Quantitative Tightening.

Di tingkat regulasi, ada berita positif dari Amerika Serikat. Gedung Putih baru-baru ini mengonfirmasi bahwa Digital Asset Market CLARITY Act akan dibahas oleh Senat pada awal Januari. Meskipun ini bukan pemungutan suara final, melainkan tahap komite untuk amandemen dan finalisasi RUU, tanda-tanda awal menunjukkan bahwa RUU tersebut akan disahkan dengan relatif mudah. CLARITY Act bertujuan untuk mengklarifikasi token mana yang diperlakukan sebagai sekuritas dan mana yang sebagai komoditas, serta membagi pengawasan antara SEC dan CFTC secara merata. Jika RUU ini disahkan, perusahaan kripto di AS akhirnya akan memiliki kerangka kerja regulasi yang lebih transparan daripada diatur melalui kasus pengadilan yang berlarut-larut. Perkembangan regulasi yang positif ini, meskipun di AS, akan memberikan dampak besar pada sentimen pasar kripto global dan dapat mendorong adopsi institusional yang lebih luas, termasuk di Indonesia.

Prospek Pasar Kripto Indonesia Menuju 2026

Bagi investor di Indonesia, perdebatan antara potensi bear market yang berlanjut dan supercycle di tahun 2026 menawarkan tantangan dan peluang. Dengan adanya faktor global yang kompleks, mulai dari kebijakan suku bunga hingga ketegangan geopolitik, pasar kripto akan terus menunjukkan volatilitas. Namun, peningkatan likuiditas stablecoin dan potensi kelanjutan kebijakan QE dari The Federal Reserve, ditambah dengan harapan akan regulasi yang lebih jelas, dapat menjadi katalis kuat untuk pertumbuhan. Investor di Indonesia disarankan untuk tetap mengikuti perkembangan pasar global, melakukan analisis fundamental dan teknikal yang mendalam, serta mempertimbangkan diversifikasi portofolio untuk mengelola risiko. Dengan pemahaman yang baik tentang faktor-faktor pendorong dan penghambat, investor dapat mengambil keputusan yang lebih tepat di pasar yang dinamis ini.

Pada akhirnya, apakah tahun 2026 akan menjadi tahun supercycle stablecoin dan pemotongan suku bunga atau justru kelanjutan dari bear market, masih menjadi pertanyaan terbuka. Pasar kripto selalu menjadi arena yang kompleks, dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi makro, sentimen investor, dan perkembangan regulasi. Yang jelas, tahun-tahun mendatang akan menjadi periode krusial untuk mengamati bagaimana semua variabel ini berinteraksi dan membentuk masa depan aset digital global, termasuk dampaknya terhadap ekosistem kripto di Indonesia.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org